Penggalan kalimat dari seorang
motivator masyhur di Indonesia ini mengawali cerita singkat tentang seorang
pemuda yang mengejar tujuannya untuk bisa memberikan manfaat bagi banyak orang
yang ada, sebagai bukti cintanya kepada agamanya serta negerinya. Kisah ini
bermula dari perjalanan kehidupan anak muda tersebut yang melewati benderangnya
jalan disiang hari maupun gelapnya lorong pekat dimalam hari. Seorang anak yang
baru lulus dari sekolah dasar negeri pada tahun 1986 tentunya jarang sekali
memilih arah mana pendidikan yang akan ditempuhnya karena biasanya seorang anak
selalu saja diarahkan oleh kedua orang tuanya, dalam berjalannya waktu ternyata
banyak hal yang memberikannya jalan yang akhirnya dia masuk kedalam sebuah
perjuangan yang mungkin bagi kalangan masyarakat biasa seperti dirinya akan
sangat jarang untuk dapat kesempatan. Jalan menuju pengabdiannya, jalan menyempurnakan
perjalanan hidupnya.
PERJALANAN
MASA KECIL
Aku diberi nama oleh kedua
orangtuaku dengan nama Hendra Cipta, yang tidak pernah kuketahui sebab musabab diberikannya
nama itu kepadaku, dan itupun tidak pernah dijelaskan oleh mereka. Ayahku salah
seorang pecinta dan penganggum sosok tokoh nasional seperti H.Agus Salim,
H.Mohd. Natsir, serta Buya HAMKA yang menurutnya adalah inspiratornya dalam
mempelajari agama Islam, banyak buku-buku mereka yang kulihat selalu dibaca
oleh ayahku tersebut, menurutnya disamping kuatnya keteguhan mereka terhadap
prinsip-prinsip perjuangan kemerdekaan dan keteguhannya dalam memperjuangkan
aspirasi umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan diluar dakwah ternyata juga
tokoh tokoh tersebut berasal dari Sumatera Barat yang menurutnya buya Hamka itu
adalah satu kampung dengannya.
H. Abdullah Chan nama ayahku,
beliau menjadi salah seorang dari beberapa orang sahabatnya untuk menggagas
berdirinya organisasi Muhammadiyah di kampong durian tempat kami tinggal.
Sedangkan nama ibuku adalah Hj. Nur’aini Koto yang sepanjang kuketahui sejak
aku kecil sudah masuk organisasi Aisyiah, meskipun tidak menjadi pengurus inti
tetapi tidak pernah lupa untuk mengikuti pengajian maupun kegiatan-kegiatan
organisasi tersebut.
Aku banyak mendengar kisah-kisah
orang besar yang kusebutkan tadi dari ayahku, bahkan pada masanya dahulu ayahku
menjadi salah satu pendukung MASYUMI yang sangat dipenuhi oleh berbagai
cendikiawan muslim dalam perjuangan mereka dibidang politik, meskipun ayahku
tidak pernah bertemu secara langsung dengan mereka tetapi yang kulihat dan
kudengar ayahku sangat mengagumi sosok-sosok mereka.
Pendidikan awal yang aku peroleh
tentunya dari kedua orangtuaku, sedangkan pendidikan formal aku peroleh di
Sekolah Dasar Negeri 060867, saat itu sebagai seorang anak kecil tentunya aku
berkeinginan seperti anak-anak lainnya yang sebelum masuk SD sudah menikmati
pendidikan di Taman Kanak-kanak, tetapi aku tidak pernah mengecam senangnya
bermain di Taman Kanak-kanak, tidak tahu lagu-lagu yang sering kudengar dari
teman-teman masa kecilku itu, yang kutahu kedua orangtuaku itu pekerja keras
dalam berdagang sepertinya mereka hanya mengetahui bahwa pendidikanpun tidak
boleh disia-siakan dengan bermain-main seperti di Taman Kanak-kanak, meskipun
banyak orang menyatakan bahwa pendidikan di TK itu adalah persiapan awal menuju
SD tetapi bagi mereka itu tidaklah menjadi sebuah keharusan.
Di sekolah dasar yang kusebutkan
tadi aku mengenal semua hal dari awal, berbeda dengan anak-anak lainnya yang
ditunggu oleh ibunya disekolah, aku hanya dititipkan kepada seorang ibu
tetanggaku yang kebetulan anaknya juga bersekolah ditempat yang sama, mulai
dari hari pertama aku tidak pernah ditunggui di sekolah, aku memaklumi bahwa
ibuku harus berdagang sejak pagi-pagi sekali dan ayahku harus ke pusat pasar
juga untuk berdagang hingga aku tidaklah juga harus berkecil hati untuk tidak
ditunggui oleh mereka. Dan anehnya aku tidak pernah menuntut untuk hal-hal
seperti itu karena bagiku sekolah adalah keinginanku bukan keinginan mereka.
Semasa SD aku mengingat beberapa
hal seperti aku harus mengaji sore hari di Madrasah Diniyah Muhammadiyah 13,
lalu mengaji qur’an dimalam hari sehabis magrib hingga isya di mesjid Taqwa,
hal-hal rutin seperti ini aku jalani semasa SD, dan Alhamdulillah aku selalu
mendapatkan ranking di sekolah pagi maupun sore, yang kuingat aku mendapatkan
hadiah berupa buku tulis karena mendapatkan prestasi itu.
Dirumah aku tetap saja selalu
mendengar ayahku bercerita, bukan kepadaku memang tetapi kepada teman-temannya
ataupun setiap tamu yang berkunjung kerumah, cerita tentang keislaman, tentang
tauhid dan syariah, tentang Nasir dengan pemikirannya, tentang H.Agus Salim
dengan kecerdikannya, tentang HAMKA dengan pemikiran tasaufnya mengenai Islam, dan
juga rutin ayahku membeli kaset salah satu dai masyhur Kota Medan saat itu,
Alm. H.Mahyaruddin Salim, beliau kerap memutar kaset dai kondang itu dirumah,
dan dalam setiap pengajian yang diisi oleh ustaz itu di masjid kami, aku selalu
dibawa untuk ikut mendengar ceramah beliau.
Tidak seperti anak-anak lainnya,
aku tidak pernah menuntut sesuatu yang seperti didapatkan oleh anak-anak
lainnya dari orang tua mereka seperti mainan serba mahal pada masa itu, aku
tidak tahu apakah ini karena ketakutanku untuk meminta kepada orangtuaku atau
memang karena ketidak inginanku untuk meminta hal-hal seperti itu, tetapi yang
kuketahui anak-anak lainnya bersuka cita dengan segala macam permainan yang
mereka punya, hiburanku adalah bermain ular tangga ataupun permainan ludo yang murah
meriah.
Suatu ketika aku bersama ibuku
pergi ke pasar petisah, disamping melihat kedai yang disana juga untuk berbelanja
kebutuhan dagangannya dan kebutuhan rumah, saat tiba ibuku berbelanja disebuah
toko yang bersebelahan dengan toko penjual sepeda, setelah selesai ibuku
berbelanja dan saat mata kecilku tidak pernah beranjak melihat sepeda model BMX
yang memang lagi naik daun dimasa itu, ibuku melihatku sekilas, tetap saja aku
tidak pernah berani meminta dibelikan sepeda itu kepada ibuku, lalu ibuku
menuntun tangan kecilku untuk berjalan menuju kedai kami dipetisah, lalu tidak
berapa lama pun kami pulang kerumah karena hari sudah cukup sore. Sesampai
dirumah dan selesai mandi sore seperti biasa tugasku menjaga kedai kami walau
sebentar, meskipun hanya sekedar duduk duduk saja yang bisa kulakukan saat itu,
tidak berapa lama saat aku menjaga kedai datanglah beca mesin membawa sesuatu
yang membuat mataku bersinar cerah, yaaa sepeda yang kulihat tadi ternyata
diantar oleh tukang beca itu kerumahku, ibuku yang baru selesai mandi dan
sholat ashar tersenyum melihatku, tidak ada kata-kata darinya, hanya senyum
saja. Sebagai seorang anak kecil yang masih kelas 3 SD akupun membawa barang
pertamaku itu keliling disekitar rumahku sekaligus memamerkannya kepada semua
kawan-kawan kecilku.
Ayahku juga bukannya tidak pernah
memberiku mainan yang pasti akan kuingat sampai kapanpun, salah satunya adalah
saat kedua orangtuaku kembali dari tanah mekkah menunaikan ibadah haji, seluruh
abang dan kakakku mendapatkan oleh-oleh dari mekkah, aku berfikir kalau aku
tidak akan pernah dapat apa-apa karena aku masih sangat kecil, apalagi mereka pulang
dari mekkah tentunya tidak ada permainan yang bisa dibeli disana, tapi ternyata
ayahku memanggilku kekamarnya dan membuka sebuah kotak yang berisi sebuah
mainan, sebuah mobil mainan yang bisa dibuka keempat pintunya, dan sepanjang
yang aku tahu dimasa itu belum ada kawan-kawanku yang punya mainan
mobil-mobilan seperti itu.
Memang masa kecilku itu
sepertinya terus dilatih oleh kedua orangtuaku, aku diberi jajan yang
secukupnya dan tidak pernah bermewah-mewah, yang kuingat adalah jika aku ingin
punya uang lebih dan punya tabungan, maka aku harus bekerja keras mengumpulkan
plat-plat besi sisa pengikat buntalan kapas yang dibeli oleh kedua orangtuaku,
plat-plat besi itu lalu kukumpulkan dan kujual ke tukang botot, akupun sering
mengisi bantal ataupun guling kecil sekedar untuk mendapatkan uang jajan yang
lebih dan kutabungkan ke Bank Mestika Dharma yang saat itu berada di jalan
Sutomo Medan.
Inilah sekilas masa kecilku
diwaktu SD, dan hari ini aku menyadari bahwa hari-hari yang telah kulalui itu
semua ternyata membentuk diriku yang saat ini. Hari-hari yang kulalui itu telah
menuntun langkahku kesuatu tempat yang tidak pernah diperkirakan oleh siapapun
juga dirumahku, semuanya mengalir tanpa adanya dugaan sebelumnya, dan
sepertinya ada “Tangan Ghaib” yang menuntun langkah kaki kecilku, membuka mata
fikiranku dan membawaku berkenalan dengan dunia santri.
Memasuki
Dunia Santri
“Pak, tamat SD ini aku mau masuk
pesantren…” kata ini adalah kata pertama permintaanku kepada kedua orangtuaku,
ayahku yang sedang membaca buku sejenak menurunkan bukunya dan melihat anaknya
yang kurus ini dengan mata setengah tidak percaya, tidak pernah dia
membayangkan anaknya yang sedang menunggu ijazah SD ini meminta hal yang diluar
dugaannya, dalam fikirannya aku bakal seperti abang dan kakakku yang biasanya
tamat SD akan melanjutkan ke SMP yang menjadi rayon sekolahnya, dan diapun
tidak pernah mengarahkan aku sesuai dengan permintaanku itu, yang mungkin dalam
fikirannya adalah anak sekecil ini harus jauh dari orangtuanya, jauh dari kota
Medan untuk kesebuah desa karena memang saat itu belum ada pesantren yang dekat
dengan kota Medan (pilihannya adalah pesantren musthafawiyah di purba atau
pesantren A-Thoyyibah di Pinang lombang), anak sekecil ini harus menyuci dan
menggosok sendiri, mandi dengan menimba air sendiri dan mengurus semua
keperluannya sendiri di sekolah berasrama. Tetapi dibalik seluruh pertanyaannya
itu, ayahku tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya, dia tersenyum dan
berkata akan mengurus semuanya untuk aku bisa sekolah ke pesantren. Akupun lega
karena aku cukup memberanikan diri untuk meminta sesuatu dan ternyata tidak
ditolak oleh ayahku.
Seusai tamat SD, akupun diantar
oleh ibuku ke desa pinang lombang Rantau Prapat, tempat pendidikan agama Islam
yang cukup masyhur dizaman itu, Pesantren At-Thoyyibah Indonesia yang diasuh
oleh Buya H. Adenan Lubis, perjalanan ke pesantren yang menempuh hingga 7 jam
ini ternyata tidak membuatku lelah saat sampai disana, akupun ditempatkan
diasrama sementara dengan beberapa santri yang lebih dulu belajar disana, ibuku
yang menghantarku juga ikut menemani diasrama tersebut sambil ngobrol dengan
beberapa santri dan akupun hanya mendengarkan saja, mungkin karena terlalu
letih akibat perjalanan jauh. Lonceng tanda untuk mandi sore berbunyi yang juga
menjadi waktu jeda menjelang magrib berjamaah di masjid, akupun diajak beberapa
santri untuk kesumur yang tak jauh dibelakang asrama santri putra, ibuku
menyiapkan handuk, odol, sikat gigi, sabun dan ember kecil untuk menimba air,
akupun berjalan kesumur dengan keluarga baruku yaitu para santri At-Thoyyibah.
Seusai mandi kamipun bergegas kembali ke asrama untuk bersiap-siap untuk ke
masjid, yang kulihat adalah pakaian di lemariku telah tersusun rapi, tetapi aku
tidak melihat ibuku, setelah kupakai sarungku, baju putih dan kopiah baruku
tetap saja aku tidak melihat ibuku, dari seorang santri kudengar penjelasan
bahwa ibuku sudah pulang ke Medan, tanpa pamit kepadaku dan akupun tidak sempat
menyalaminya, aku terdiam sejenak dan sambil berfikir mungkin saja ibuku tidak
mau membuatku lemah saat harus meninggalkanku atau mungkin saja ibuku tidak mau
aku melihat airmatanya yang jatuh saat meninggalkan putra kecilnya, tetapi
semua itu tidak pernah membuatku gusar dan bersedih, aku tidak seperti anak-anak
lainnya yang kulihat menangis dan merengek-rengek kepada orang tuanya saat
hendak mau ditinggalkan di pesantren.
Saat masa-masa di pesantren
tentunya banyak hal yang dapat kupelajari, aku ingat betul ketika pertama kali
untuk menyuci bajuku, makan bersama-sama santri lainnya tanpa bisa memilih
menunya, beraktivitas secara penuh sejak menjelang subuh hingga tidur kembali
pada malam harinya, kegiatan santri yang sungguh sangat padat, kami terus
dilatih dan ditempah untuk menjadi generasi unggulan, yang bukan hanya dibidang
dakwah maupun agama saja tetapi juga dibidang ilmu sosial yang lainnya.
Berpidato dalam 3 bahasa (Indonesia, arab dan inggeris), mengaji, berdebat
dalam suasana santun, membangun ukhuwah islamiyah yang erat, saling tolong
menolong serta yang utama adalah hormat dan patuh pada para pengajar dan orang
yang lebih tua umurnya menjadi hal-hal rutin yang kami lakukan selama di
pesantren. Disisi lain kami juga diasah bakat dan kemampuan dalam bidang-bidang
lainnya seperti olahraga dan kesenian, maka pada umumnya anak-anak pesantren
sangat menguasai minimal 3 jenis olahraga popular, mampu mengekspresikan sisi
indahnya seni melalui puisi, lagu bahkan drama. Semuanya ini hal yang rutin
dilakukan di pondok pesantren kami.
Sisi perkembangan pendidikanku
tentunya cukup membanggakan bagi diriku sendiri dan tentunya bagi ayah ibuku, meraih
ranking 3 besar sejak tsanawiyah hingga aliyah secara bergantian menjadi sisi
kebanggaan manusiawiku, satu hal yang sangat aku kenang adalah disaat aku
pulang ke medan pada waktu aku duduk dikelas 2 Tsanawiyah pada saat bulan
Ramadhan di mesjid sekitar rumahku menyambut malam 17 Ramadhan dengan melakukan
berbagai perlombaan, diantaranya adalah lomba berpidato. Pada saat itu akulah
peserta paling terkecil secara fisik dan umur, sebab peserta lainnya adalah
para mahasiswa IAIN semester awal. Aku berpidato didepan ayahku, seluruh guru
masa SD-ku, dan jamaah yang ada setelah Shalat Tarawih, aku berpidato begitu
semangatnya membahas khilafiah dalam islam, perbedaan dan perseteruan antara
NU, Al-Washliyah dan Muhammadiyah didepan jamaah yang notabenenya adalah jamaah
Muhammadiyah yang turut didirikan oleh ayahku di sekitar rumahku, aku membahas
pentingnya toleransi antar organisasi islam pada masa itu, kulihat seluruh mata
melihatku, dan dalam hatiku sungguh sangat takut apakah aku salah dalam
menyampaikan isi pidatoku, tetapi yang kulihat ayahku H. Abdullah tersenyum, salah
seorang guruku Al-Ustaz H. Armiya Yusuf juga tersenyum, hal ini menambah
semangatku, dan yang kudengar dari jamaah itu adalah pujian untuk anak kecil
sebesar aku pada masa itu karena mampu berpidato seluruhnya tanpa teks. Sebagai
seorang anak kecil aku juga berharap untuk dapat memenangkan perlombaan dan
tepat pada 17 Ramadhan pengumuman perlombaan pun dilakukan dimesjid tersebut,
aku sang anak kecil itu meraih juara 1, begitu senangnya aku karena aku bisa
mengalahkan salah seorang mahasiswa IAIN unggulan yang sudah dianggap calon dai
dimasa akan datang, abangnda Andi Surbakti namanya, beliau pada masa selanjutnya
menjadi salah seorang aktivis Muhammadiyah yang sangat sederhana, dan saat ini
menjadi pengurus DIKDASMEN Muhammadiyah Kota Medan. Tidak ada pujian dari
ayahku maupun ibuku, hanya senyum mereka yang tulus untukku karena semua itu.
Haripun terus berlanjut, berbagai
suasana di pesantren kualami, mulai dari penerangan pesantren kami yang
menggunakan tenaga mesin hingga masuknya aliran PLN ke pesantren kami. Di
pesantren pulalah aku berkenalan dengan berbagai orang santri yang sampai hari
ini menjadi sahabat-sahabatku yang tentunya juga bukan berarti mengecilkan arti
pertemanan dengan santri-santri lainnya. Diantara para sahabatku hingga saat
ini semisal H. Abdurrahman,LC,MA (seorang pendakwah yang luar biasa, alumni
Universitas Al-Azhar Mesir yang penuh prinsip dan teguh terhadap syariat) aku
seringkali berdiskusi dan meminta nasehat dari sahabatku ini, saat ini beliau
menjadi tenaga pendidik, pendakwah dan pembimbing ibadah haji dan umrah di kota
Medan. Lalu ada sahabatku H.Riswanto Wage,Lc (sosok sederhana yang penuh
pertimbangan yang juga alumni Al-Azhar Mesir, saat ini dipercaya menjadi
pimpinan sekolah Hikmatul Fadhila di Medan), H. Sarbini Tanjung (sahabatku yang
satu ini kalau diceritakan perjalanan hidupnya akan memberikan inspirasi bagi
siapa saja, bagaimana ia berjuang bertahan untuk menyambung hidup dan
pendidikannya di mesir, saat ini beliau menjadi salah satu pembimbing umrah
yang masyhur di travel “AL-FATIH” Medan). Adapula H.Indra Suardi,Lc,MA (senior
diatasku setahun, saat ini menjadi kepala sekolah SMP di Shafiyatul Amaliyah
Medan, sekolah islam bergengsi kata teman-temanku). Hj.Susan Abdah Nst yang
saat ini menetap dan menjadi pengasuh di Pesantren At-Thoyyibah Indonesia
bersama suami dan anak-anaknya, Syarifah Hidayah sahabatku yang kini pengajar
di depok disamping menjadi ibu rumah tangga yang berhasil mendidik
anak-anaknya. Dan ada beberapa sahabat
lainnya yang tidak dapat kusebutkan satu persatu disini. Semua sahabatku itu
kutemui disebuah tempat yang bernama pesantren.
Berbagai prestasi kuraih dengan
para sahabatku, aku bersama Abdurrahman dan Riswanto pernah menjadi juara 1
cerdas cermat tingkat aliyah sekabupaten labuhan batu, lalu kamipun berhak
mewakili kabupaten ke tingkat propinsi yang dilaksanakan di kota Lubuk Pakam,
disini kamipun berhasil masuk final dan berhadapan dengan orang-orang pintar
dari MAN-1 Medan dan Man-2 Medan. Uniknya kami yang difinal ini seluruhnya
adalah anak medan, hanya saja kami mewakili kabupaten labuhan batu karena
sekolah kami di kabupaten tersebut, kami cuma mampu meraih juara 3 pada saat
itu.
Lucunya pada saat pembagian
jurusan dikelas 2 Aliyah aku sedikit berpolitik ala sekolah saat kulihat
sahabatku Riswanto yang berat kusaingi mengambil jurusan agama, Abdurrahman
mengambil jurusan biologi, maka akupun tidak mau bersaing dengan mereka yang
kutau lebih pintar dariku, akupun memilih jurusan sosial agar tetap eksis dalam
menjaga posisi rankingku, bagiku ini siasat yang lucu-lucu saja dan meskipun
terbukti berhasil menjaga zona amanku.
Bersama teman-temanku lainnya
kamipun pernah meraih juara 1 sepakbola se kabupaten Labuhan Batu mengalahkan
seluruh sekolah aliyah disana, betapa aku sangat bersyukur dapat bersekolah
dipesantren yang ternyata memberikan banyak kebisaan kepadaku untuk menjadi
bekalku hingga saat ini.
Pada saat menjelang aku tamat
Aliyah, disituasi masyarakat yang sangat mengidolakan sosok Tri Sutrisno yang
dianggap sebagai anak pesantren yang berhasil meraih prestasi politiknya di
masa presiden Suharto, dunia pesantren menjadi sangat populer, banyak
masyarakat yang mengirimkan anak-anaknya untuk bersekolah dilembaga pendidikan
satu ini. Umumnya anak pesantren sangat terinspirasi dengan sosok Tri Sutrisno
seorang jenderal yang agamis menurut kami, banyak diantara kami yang berangan
untuk mencoba menjadi ABRI, begitu juga aku meskipun aku tau itu bukanlah suatu
yang mudah.
Tamat aliyah akupun seperti
halnya dengan anak-anak lainnya, bingung mau menuju kemana selanjutnya, aku
sampaikan ke ayahku untuk mendapat izin mencoba ABRI tetapi ayahku tidak member
izin karena mungkin dengan berbagai pertimbangan yang aku sendiripun tidak
pernah tahu, lalu ibuku memberikan pencerahan untuk mencoba di APDN ataupun
STPDN saat ini karena salah seorang pamanku yang menjadi kabag humasy di pemko
Medan Drs.Niwal Hasyim menjadi inspirasi ibuku, seorang PNS akan terjamin masa
tuanya kata ibuku saat itu. Akupun bersama ibuku membawa ijazah Aliyahku untuk
ditunjukkan pada sang paman, tetapi ternyata pamanku menyatakan bahwa lulusan
Aliyah tidak bisa diterima menjadi siswa APDN/STPDN pada masa itu, akupun tetap
saja mencari jalan lain untuk melanjutkan pendidikanku, kuminta saran dari
salah seorang abangku yang saat itu kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas
Nommensen (pada saat itu universitas ini menjadi universitas swasta yang
terbaik untuk fakultas ekonomi), akupun mendaftar dan mengikuti ujian masuk
universitas itu, pada hari pertama aku masuk ruangan kelas, tidak lebih dari
setengah jam akupun keluar dari ruangan ujian, bukan karena aku telah selesai
mengerjakan ujian ataupun bukan karena aku tidak sanggup mengerjakannya tetapi
aku kurang nyaman dengan suasana dikelas itu. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali
ke pesantren guna melanjutkan pendidikan dengan mengambil kelas 7 di pesantren,
yang bagi sebuah pesantren kelas ini adalah kelas akhir untuk mendapatkan
pemantapan, dikelas ini akupun bertemu dengan sahabat-sahabatku yang kusebutkan
tadi, suka duka kami dikelas akhir ini menjadi pamungkas segala hal, kami
diberikan bekal ilmu yang tidak sama dengan kelas dibawah kami, seluruhnya
langsung dibawah pengawasan Alm.H.Adenan Lubis, pendiri dan pengelola pondok
pesantren kami, sosok “Ayah Kami” yang menjadi pengganti ayah biologis kami
semua.
Disuatu sore menjelang sebulan
kami akan tamat kelas 7 itu, aku piket bersama sahabatku Abdurrahman didepan
gardu pintu masuk wilayah pondok pesantren, seperti biasa kami duduk sambil
berdiskusi tentang rencana-rencana hendak kemana melanjutkan setelah semua ini
kami lalu. Semua peluang kami diskusikan, hingga tanpa sadar sahabatku itu
menyatakan bahwa ada alumni kami yang saat ini kuliah di Al-azhar Mesir kerap
saling berkirim surat dengannya, menceritakan seluruh keadaan disana. Naluri
petualangku muncul saat itu, aku ingin mencoba sesuatu yang belum banyak
dirasakan oleh kebanyakan orang tetapi aku membayangkan situasi yang sangat
sulit saat disana, membayangkan alat komunikasi yang sulit, membayangkan hidup
sendiri bersama teman sebaya dinegeri orang yang sangat jauh. Namun kami
akhirnya mengambil kesimpulan bahwa kami akan mencoba hal itu sesulit apapun
itu, kami memutuskan agar Abdurrahman menanyakan detail tentang persyaratan dan
cara untuk bisa sampai kesana, negeri Mesir, negeri sejuta menara itu.
Mesir
Negeri Sejuta Menara
Alumni kelas 7 dilepas seperti
biasanya melalui proses yang cukup sakral yaitu pada tanggal 05 Februari 1994
sesuai dengan tanggal berdirinya pesantren kami dan acara tasyakkur untuk
seluruh warga pesantren dan keluarga santri, dua ribuan lebih orang melihat
kami menerima ijazah tanda kami menuntaskan secara sempurna masa dididik di
pesantren itu, banyak tawa dan tangis kami para alumni yang harus berpisah
dengan guru kami yang mendidik kami sejak kami anak-anak yang berumur 13 tahun
hingga dewasa berumur 20 tahun, masa pendidikan ketat yang kami alami selama 7
tahun, melihat dan meninggalkan seluruh kenangan masa kecil kami dipesantren
itu, tapi ini semua adalah sunatullah sebut “ayah kami”, hal yang biasa dan
harus ditempuh katanya saat kami berpamitan untuk pulang kerumah kami
masing-masing, banyak petuah terakhir yang diberikannya kepada kami saat itu,
yang kutahu”ayah kami” ini sangat jarang sekali melepaskan ekspresi
kesedihannya tetapi hari itu matanya berkaca dan berair dibalik kacamata
coklatnya, kami tidak tahu dengan ekspresinya itu terhadap kami untuk maksud
dan tujuan apa, kami hanya tahu bahwa inilah sosok “ayah kami” yang menjaga
kami selama 7 tahun, seorang ayah yang akan melepaskan anak-anaknya untuk
keluar dari lingkungan yang selama ini dibinanya.
Seminggu berselang sejak
perpisahan kelas 7 itu, aku dan sahabatku terus intens mempersiapkan rencana
kami, padahal sedikitpun aku belum menanyakan izin dari kedua orang tuaku, aku
takut izin itu tidak akan pernah aku dapati, tetapi ternyata saat aku
menyampaikan itu kepada ayah ibuku kedua kembali tersenyum seperti biasa dan
memberikan izinnya, malah yang kulihat ayahku sangat berbahagia dengan
permintaanku ini.
Aku dan Abdurrahman menyampaikan
rencana kami ini kepada alumni kelas 7 yang satu angkatan dengan kami tetapi
ternyata ada beberapa sahabatku yang lainnya juga ingin melakukan hal yang sama
seakan tidak mau berpisah, Riswanto, Sarbini, Irwansyah Pasaribu bahkan seorang
perempuan yang bernama Susan Abdah Nasution juga ingin untuk melanjutkan kuliah
di Al-Azhar Mesir. Sahabatku yang lainnya memberikan support dan do’a mereka
agar kami bisa mewujudkan keinginan kami itu.
Setelah bertanya kesana kemari
kepada alumni Al-Azhar yang sudah kembali ke Medan, dibantu dengan seluruh
persiapan yang cukup, akhirnya seluruh persiapan keberangkatanpun sudah
rampung, dan kamipun berenam berjanji untuk bertemu di bandara polonia pada
saat berangkat nanti, tetapi sebelumnya kami berenam meminta bimbingan Alm.
“Ayah kami” H.Adenan Lubis, pada saat itu yang kuingat kata-katanya adalah
“Anak-anakku, tempat yang akan kalian tuju itu sangatlah jauh, kalian akan
melihat banyak hal disana, mengalami banyak persoalan disana dan ingatlah bahwa
kalian ini harus selalu bersama dalam situasi apapun, menjaga hubungan
kekeluargaan sesama kalian, sesulit apapun yang kalian hadapi jikapun hanya ada
sepotong roti untuk kalian makan maka kalian harus membaginya menjadi enam
bagian yang sama banyaknya, satu hal lagi kelima anakku yang lelaki ini menjadi
wajib untuk menjaga saudarimu Susan ini, kalianlah yang menjadi wakil dari
ayahnya selama disana, dan ingat anak-anakku suatu saat kalian harus kembali ke
pesantren kita dalam posisi apapun, ajarkanlah semua yang kalian peroleh,
motivasilah adik-adik kalian yang saat ini belajar di pondok kita”. Hanya itu
yang kuingat dari “Ayah kami’ itu.
Pagi pada saat keberangkatan yang
kuingat pada bulan april 1994, ramai keluargaku sudah ada dirumahku, memberikan
banyak hal, termasuk uang sebagaimana kebiasaan seorang anggota keluarga yang
akan berangkat, untuk beli jeruk dijalan katanya, tetapi uang itu masih dalam
bentuk rupiah dan ternyata ada kejadian lucu dengan uang rupiah itu saat kami
transit bermalam di jordania, ibuku serta seluruh abang kakakku nampak sedih
dan menangis saat aku harus pamit berangkat, mereka membayangkan hal tersulit
yang bakal aku hadapi selama aku di mesir, pelukan dan ciuman mereka kepadaku
membuat akupun ikut menangis, lalu ayahku…, ayahku juga menangis saat aku
memeluknya, anak kecilnya akan berangkat jauh, dan aku barulah sekali ini
melihat ayahku menangis padahal yang kuingat beliau sudah 4 kali berangkat haji
dan tidak satupun ada airmatanya yang jatuh saat berangkat haji, tidak seperti
ibuku. Tidak ada satupun pesannya, hanya ada airmatanya, dan ayahku tidak mau
menghantarku ke bandara bukan karena hal-hal yang aneh, tetapi mungkin saja dia
tidak mau jika aku tahu dia tidak kuat melepasku saat dibandara nanti. Akupun
berangkat dari rumah bersama ibuku, kakak, dan abangku serta beberapa
keluargaku.
Di bandara polonia medan ternyata
seluruh sahabatku sudah ada disana bersama keluarganya juga, mata-mata yang
berkaca kaca kulihat semuanya, lalu setelah setengah jam kamipun mendengar
panggilan untuk naik kepesawat yang akan membawa kami ke kuala lumpur, isak
tangis semakin menjadi,seluruhnya menangis saat kami menenteng tas kami, ibuku
terus saja menciumiku sambil menangis, para sahabatku yang akan kami tinggalkan
juga menangis, Syarifah, Feriza, Amin, Ismantoro. Syarifah yang paling kuat
tangisnya karena memang diantara semua sahabatku yang ada, dialah yang paling
dekat dengan keluargaku, ibuku sudah seperti menganggap dia sebagai anak kandungnya
selama ini.
Enam orang anak muda berumur 20
tahun meninggalkan semua orang yang dicintainya, meninggalkan semua sahabat
yang dekat dengannya, mereka-reka apa yang bakal dihadapi selama dalam
perjalanan, membayangkan situasi mesir yang tidak pernah kami tahu gambarannya.
Kami berangkat menuju mesir
setelah transit dibeberapa tempat, 2 jam transit di penang Malaysia, 1 malam
transit di kuala lumpur dan kamipun menyempatkan diri untuk berkeliling di
Kuala Lumpur Malaysia bahkan kami sempat menelpon ke orang tua kami
masing-masing di Indonesia, lalu transit 1 malam di Jordania.
Awalnya semua mudah karena bahasa
yang digunakan masih berbahasa melayu, tetapi pada saat di Jordania masalahpun
mulai bermunculan terutama persoalan bahasa, kami terbiasa dengan bahasa arab
Fushah bukan Hammiyah, ditambah lagi dengan terlalu cepatnya orang arab itu
berkata kata hingga kami sulit mencerna maksudnya, perlahan kamipun bisa
memahaminya. Banyak kejadian lucu selama berada di Jordan, seperti permintaan
tips dari petugas pengangkut barang yang membawa barang kami ke bus yang akan
mengangkut kami kehotel Aliya Jordan, kamipun bingung karena uang yang kami
bawa adalah uang dollar amerika, pecahan terkecilnya pun pecahan 10 dollar,
kalkulator otak kamipun jalan menjumlah uang tips yang akan kami berikan, pada saat itu nilai 1 USD sekitar Rp 2.400,-
, terlalu besar menurut fikiran kami untuk memberi tips, akupun teringat dengan
uang pemberian dari salah seorang keluargaku yang dalam bentuk rupiah dan masih
ada di kantongku, kulihat ada pecahan Rp. 500,- yang bergambar monyet kuingat
saat itu, lalu kuberikan kepada orang arab itu, sepertinya dia heran karena
menurut dia itu uang dollar amerika senilai 500 dollar, tentunya itu luar biasa
banyaknya untuk ukuran tips, diapun berlalu sedangkan aku bersama
sahabat-sahabatku bergegas naik dan berharap agar bus itu cepat berangkat
menuju hotel dan tentunya tidak berharap petugas itu datang lagi menemui kami.
Keesokan harinya, kami melihat
tiket kami yang menunjukkan kami harus berangkat jam 2 siang menuju kairo
mesir, kamipun bersiap-siap untuk berangkat, tetapi kami tidak tahu mau naik
apa ke bandara, dan petugas hotel menyatakan bahwa akan ada bus yang akan
membawa kami nanti, tetapi kami tidak melihat satu bus pun, karena takut akan
ditinggal oleh pesawat maka kami mencoba bertanya kepada bagian informasi,
sebelum bertanya kamipun membagi tugas siapa yang harus bertanya, karena dari
sisi bahasa arab yang paling mengerti itu adalah Abdurrahman dengan Riswanto
maka kepada kedua orang itulah yang mendapatkan tugas itu, awalnya Abdurrahman
bertanya, kulihat agak lancar obrolannya dengan petugas informasi itu,
sahabatku itupun kembali dengan wajah agak pucat lalu bilang “gawat kita ni,
katanya pesawat sudah berangkat, kita ini sudah terlambat..!!”, semua kami
stress jadinya, tapi Riswanto yang kami kenal selama ini cukup bijak menyatakan
mungkin rahman salah mengartikan bahasa arab orang itu, diapun berdiri maju
dengan gagahnya dengan sarbini dan berkata “Speak English Please..!”, sang
petugas informasi kembali menjelaskan dalam bahasa ingeris yang sangat cepat
dan lancar, lalu Riswanto dengan sarbini kembali ke tempat duduk kami sambil
pucat juga dan menyatakan “Lebih parah, gak ngerti aku, entah apapun yang
dibilangnya, cepat kali..mungkin betollah kita udah ketinggalan pesawat”.
Kembali kami bertambah stress kemana kami mau mencari tiket lagi, uangpun
terbatas untuk bekal kami dimesir selama 6 bulan, akhirnya kamipun tetap saja
kurang puas dan bersama-sama mendatangi lagi petugas informasi itu, kecuali Susan
yang kami tugaskan untuk menjaga tas kami, kami meminta petugas itu untuk
menjelaskan apa yang sebenarnya, petugas itupun menjelaskan dan sepertinya dia
faham bahwa kami kurang mengerti maka dia menggunakan bahasa yang paling
universal yaitu bahasa tarzan, dengan mimik, gerak tangan dan contoh pesawat
kecil dia menjelaskan, ternyata memang kami bukannya ketinggalan pesawat,
tetapi petugas itu dengan bahasa tarzannya menyatakan bahwa pesawat kami di
“Delay” hingga pukul 5 sore…. Hahahaha
Setibanya kami di bandara di
Kairo Mesir, ternyata kami sudah disambut oleh beberapa senior kami yaitu
Al-ustaz Akhiruddin,LC (yang sempat menjadi anggota DPRD Deli Serdang dari
salah satu partai), beliaulah yang pertama kali menyapa dan menjemput kami lalu
membawa kami ke sebuah apartemen yang ternyata sudah dicarikannya sebelum kami
sampai di Kairo, kami seluruhnya kecuali Susan berada di satu apartemen dan
dipimpin oleh seorang senior yang berasal dari Tapanuli Selatan.
Pada saat kami datang ke mesir,
Universitas Al-Azhar belum membuka pendaftaran karena biasanya dibuka pada
bulan juli, untuk mengisi kekosongan waktu, maka kami mengambil kursus singkat
selama beberapa bulan untuk menyempurnakan bahasa arab kami, sambil terus
mempelajari bahasa yang umumnya dipakai sehari-hari dalam pergaulan sosial di
Mesir. Mengisi kegiatan kami dengan membedah buku setiap selesai sholat subuh,
berdiskusi tentang tokoh Islam yang sangat masyhur, tokoh perkumpulan Ikhwanul
Muslimin yang terkenal keseluruh penjuru dunia, tentang Hasan Albanna,
tentang Sayyid Qutub (Tokoh Ikhwan yang
dihukum gantung dan terkenal dengan bukunya “Fie Dzilalil Qur’an atau dibawah lindungan
qur’an), kami diajari untuk berbelanja kebutuhan sendiri yang pada awalnya
didampingi dan lambat laun dilepas sendiri, mengunjungi tempat tempat yang
fenomenal dimesir mulai dari Pyramid Gizza dengan sphinx-nya hingga berziarah
kemakam ulama yang sangat terkenal didunia yaitu Imam Syafi’i.
Dan karena saat kami datang
adalah saat pergantian musim dari musim panas ke musim dingin, kamipun rajin
untuk berolahraga sepakbola setiap jum’at pagi, karena para senior tersebut
tidak kuliah pada hari itu, kami berkunjung kesana kemari ke apartemen para
mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, sambil berkenalan
juga untuk berbagi pengalaman. Bergaul dan berkenalan dengan berbagai mahasiswa
antar bangsa meskipun dengan bahasa yang terbata-bata, kami tetap berupaya
memperlancar bahasa pasaran kami.
Singkat cerita setelah melalui
beberapa waktu, kamipun diterima di Universitas Al-Azhar dengan jurusan yang
berbeda-beda, kami hanya boleh membuat 2 pilihan dan yang memutuskannya adalah
pihak Al-Azhar, Abdurrahman dan Irwansyah di Fakultas Syari’ah Islamiyah,
Riswanto dan Sarbini di Ushuluddin, Susan memang terpisah dari kami karena dia
adalah mahasiswi yang tentunya harus bersama mahasiswi pula, aku tidak tahu
betul Fakultasnya, sedangkan aku diterima di Fakultas Syari’ah Wal Qanun. Ini
adalah pilihan pertamaku saat itu, mengapa harus fakultas itu..?, karena aku
beranggapan aku lebih tertarik untuk mempelajari Hukum Qanun bukan Hukum Islam,
mungkin karena naluri ilmu sosialku yang menggiringku kearah sana.
Aktivitasku diperkuliahan
tergolong biasa seperti mahasiswa lainnya, menghadiri ceramah kuliah umum saat
beberapa tokoh hadir, aku juga ikut berdesak-desakan untuk mengambil tempat
saat menghadiri ceramah umum Syeikh Yusuf Qhardawi yang terkenal itu di
perkumpulan mahasiswa Malaysia. Sedangkan diluar perkuliahan aku menjadi
anggota HPMI (Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia) di Mesir yang katanya
memang menjadi syarat utama jika kita berurusan dengan Atase Pendidikan dan
Kebudayaan di KBRI Mesir, dan pada akhirnya organisasi ini berubah menjadi PPMI
Kairo Mesir. Aku juga menjadi tim inti
sepakbola di klub Toba (Klub sepakbolanya mahasiswa yang berasal dari Sumatera
Utara), Klub sepakbola ini selalu saja menjuarai kompetisi mahasiswa antar
propinsi yang selalu digelar setiap tahunnya. Di kampuspun aku juga masuk tim
inti sepakbola fakuktas yang bergabung dengan mahasiswa dari berbagai negara
lainnya dan aku satu-satunya orang Indonesia, dalam tim ini aku mendapat
penghargaan dalam sebuah turnamen sebagai pemain teladan dan piagamnya kusimpan
rapi hingga saat ini. Saat kejuaraan mahasiswa antar Negara digelar, aku juga
termasuk dalam tim Mahasiswa Indonesia, moment yang sangat tidak terlupakan
saat mendengar lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan di stadion, aku
terharu dan mataku berkaca-kaca, aku teringat dengan semua ke-Indonesiaanku dan
seluruh orang-orang yang kucintai di Indonesia, tim ku ini terhenti hingga
sampai semifinal saat kami kalah dari mahasiswa Thailand.
Satu tahun aku menjalani semua
rutinitas itu, hingga pada saat musim haji pada tahun 1995 yang kebetulan aku
juga dalam masa menjelang ujian, hatiku menggerakkanku untuk berangkat
menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah, tidak ada satupun halanganku untuk
mewujudkan niatku itu, aku bertekad untuk berangkat haji meskipun segala hal
pengurusan visa dan sebagainya harus kuurus sendiri yang tentunya berdasarkan
informasi mahasiswa lainnya, aku begitu takutnya jika kesempatan itu tidak
terulang lagi pada tahun berikutnya. Pada musim haji tahun itu akupun berangkat
ke Jeddah dengan mempergunakan kapal laut yang memakan waktu 3 hari, banyak
kisah selama perjalanan itu bersama seluruh jamaah calon haji lainnya yang
berasal dari mesir, tidak ada travel haji yang membimbing pada saat itu karena
semuanya harus ditempuh dengan sendirinya dengan bimbingan beberapa senior yang
kebetulan juga ikut berangkat.
Banyak pengalaman spiritual yang
kuperoleh selama masa menunaikan ibadah haji itu, betapa bergetarnya hatiku
saat pertama kali menatap Baitullah itu. Selama musim haji aku menumpang di
rumah tempat berkumpulnya mahasiswa tapanuli selatan yang belajar di Mekkah.
Jika aku turun ke Masjidil Haram maka biasanya aku kembali ke rumah itu 3 hari
kemudian untuk mencuci baju dan menggosok, dan saat berada di sekitar Masjidil
Haram pada malam harinya aku hanya tidur menggunakan selembar sajadah di seputaran
masjid yang agak lengang dari kegiatan petugas kebersihan masjid yang bekerja
rutin setiap jamnya untuk membersihkan Masjidil Haram itu. Dan banyak ceritaku
semasa menunaikan ibadah haji itu, masa-masa itu seakan terulang dalam
fikiranku saat aku menuliskan semua ini, mungkin karena pada saat itu umurku
baru 21 tahun dan ditambah lagi bagiku inilah pengalaman yang sangat berharga
melebihi apapun dari seluruh pengalaman yang telah kulewati.
Singkat cerita pada tahun 1996
dibulan april ibuku mengunjungiku ke mesir yang juga berencana untuk
melaksanakan umroh melalui mesir, tidak pernah kubayangkan ibuku yang orang
desa itu dan tidak menguasai satupun bahasa asing berangkat sendirian ke Mesir,
aku begitu takutnya dengan perjalanannya yang cukup panjang itu, tetapi
Alhamdulillah ibuku sampai juga ke mesir, dipeluknya dan diciumnya aku sambil
menangis saat pertama kali melihatku di bandara. Selama berada di Mesir, aku
membawa ibuku berjalan-jalan ketempat-tempat wisata layaknya ibuku sedang
berwisata, mengunjungi mesjid Husain, mengunjungi makam imam syafii, dan banyak
tempat lainnya, selama dimesir ibuku dan aku menginap di rumah salah satu staff
KBRI yang kebetulan sangat dekat denganku, tetapi yang kulihat dari semua
kebahagiaan ibuku itu ternyata ada sesuatu yang sangat disembunyikannya, aku
sangat mengenal ibuku itu, beliau sangat pintar menyimpan sesuatu, hingga saat
akan berakhirnya visa ibuku dan kebetulan untuk melaksanakan umroh tidak bisa
pada saat itu, ibuku mengajakku untuk pulang ke Indonesia. Sesuatu yang
membuatku sangat terkejut karena memang selama di mesir sedikitpun ibuku tidak
pernah menyinggung hal itu, saat aku bertanya kepada ibuku mengapa aku harus
pulang, ibuku menyatakan lebih baik menelpon ayahku terlebih dahulu. Dari pembicaraanku
dengan ayahku ternyata ayahku dalam keadaan sakit yang cukup mengkhawatirkan
pada saat itu, ayahku berpesan dengan suara yang kuketahui memang benar dalam
keadaan itu agar jika akupun harus pulang maka aku harus mengambil tiket pulang
pergi untuk kembali ke mesir, tetapi ibuku punya fikiran lain, sepertinya ibuku
tidak berkeinginan aku bertahan di mesir, aku tidak pernah berfikir panjang,
aku mengambil sikap yang sama dengan ibuku, entah karena ayahku yang kuketahui
sedang dalam keadaan sakit itu ataupun kerinduanku yang sangat mendalam
terhadap Indonesiaku. Aku tidak ingin jauh dari ayahku itu apalagi dalam
keadaan sakit, maka akupun memutuskan untuk berhenti kuliah di Al-Azhar dan
segera mengurus serta mengambil ijazahku yang ditangan pihak kampus saat aku
diterima dahulu, mengurus segala sesuatunya dengan segera, yang kuingat bahwa
ibuku mengizinkanku untuk tidak kuliah di Medan, beliau membolehkanku untuk
kemana saja asalkan tetap di Indonesia.
Kembali
ke Indonesia
Pada tahun 1996 aku kembali ke
Indonesia, kulihat ayahku memang benar dalam keadaan sakit keras dan dalam
sakitnyapun beliau masih sempat protes dengan sikapku untuk berhenti kuliah di
Mesir dan menegur ibuku karena membiarkan keputusanku, beliau hanya berharap
agar aku kembali ke Indonesia hanya untuk mengobati rasa sakit dan rindunya
pada anaknya. Aku menjawab semua protes ayahku dengan menyatakan bahwa aku akan
melanjutkan kuliah di Indonesia saja, bahkan bila perlu mengulang kembali dari
awal, dan Medan adalah pilihanku, aku tidak berkeinginan kuliah jauh lagi
meskipun ke pulau jawa.
Akhirnya setelah mempertimbangkan
banyak hal, akupun melanjutkan kuliah di STIE Tri Karya d/h AKP Perbanas Medan,
mungkin memang karena pengaruh ilmu-ilmu sosial yang ada dalam diriku dan
target untuk segera bekerja seusai kuliah, maka aku memilih kampus itu sebab
program D-3 katanya penuh dengan praktek dan teknis bukan sebatas teoritis. Di
kampus ini aku kembali memperkokoh kemampuan ekstra ku dengan masuk HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam) sebuah organisasi mahasiswa yang sangat banyak
melahirkan tokoh-tokoh di setiap jenjang dan aspek kehidupan, mulai dari
tingkat nasional hingga daerah. Aku memperkuat sisi ke-Indonesiaanku, mengikuti
proses pembentukan sumber daya manusia insan cita yang menjadi tujuan luhur
dari HMI. Aku mulai aktif mengikuti seluruh kegiatan keorganisasian disamping
juga terus mengasah bakat seniku dalam bidang musik, bersama beberapa temanku
kami mendirikan band kampus yang cukup banyak wara wiri di kampus-kampus kota
Medan, karena memang pada saat itu musik kampus sangat banyak digelar hampir
setiap minggu ada saja event yang digelar, bahkan kami juga berhasil menjadi
juara dalam beberapa festival band. Kegiatan nge-band itu tidak mempengaruhi
aktivitas organisasiku, tetap saja aku belajar semua hal menyangkut organisasi,
bagiku organisasi adalah sekolah non formalku dan nge-band adalah pergaulan
sosialku. Meskipun semua aktivitasku itu sangat padat aku tetap memperoleh
nilai akademis yang sangat baik, bahkan aku memperoleh bea siswa PPA selama 2
tahun berturut-turut
Pengaruh kondisi pergolakan
politik nasional pada tahun 1997/1998, telah menuntunku untuk menjadi aktivis
kampus yang kritis untuk semua persoalan internal kampus maupun nasional, aku
bersama teman-teman kampusku memperjuangkan untuk menurunkan uang UNC (Ujian
Negara Cicilan) karena pada saat itu ekonomi masyarakat kita sudah sangat
sulit, aku mengumpulkan seluruh potensi kampus mulai dari HMI, GMKI, GMNI
bahkan beberapa kelompok mahasiswa lainnya, hampir 4 hari kami tidak pulang dan
menginap dikampus untuk menuntut hal itu. Akhirnya aku dipanggil oleh yayasan
kampus yang saat itu dipimpin oleh Ibunda Prof.Hj.Djanius Djamin,MS yang pada
saat itu juga menjabat sebagai Rektor Universitas Negeri Medan, selama ini
hanya mengenal ibunda kami ini orangnya sangat keras dan tegas, kekhawatiranku
adalah aku akan dikeluarkan dari kampus karena menjadi pimpinan demontran
kampus, dan yang ketakutanku terbesar adalah nanti pada saat kedua orang tuaku
tahu seandainya aku dikeluarkan dari kampus.
Ternyata Ibunda Djanius Djamin
yang kami panggil dengan “ummi” ini tersenyum pada saat melihatku, seorang anak
muda berambut gondrong dan berkaos oblong yang masuk keruangannya dan sangat
kuingat adalah ucapan ummi bahwa dia sangat senang dengan maksud perjuangan
kami, beliau bertutur tentang pentingnya sebuah kepekaan sosial sejak dari masa
perkuliahan, perjuangan kamipun berbuah manis dengan dipenuhinya permintaan
kami untuk diturunkannya uang UNC tersebut. Beliau hanya meminta agar kampus harus
menjadi pusat akademis yang kondusif dan pusat diskusi seluruh elemen kampus
tentang semua hal termasuk pengabdian kepada masyarakat. Terkait permasalahan
nasional yang sedang terjadi dimasa itu, beliau memberikan support moral yang
sangat luar biasa untuk kami mengambil peran yang lebih besar.
Tahun 1997-1998 adalah
tahun-tahun dimana kami berada dijalanan sebagai demonstran, tidak pernah lelah
kami berhari-hari melakukan demonstrasi, tuntutan kami adalah menurunkan rezim
yang sangat militeristik pada masa itu, menuntut agar segera dilakukannya
reformasi, tuntutan yang awalnya disuarakan oleh tokoh idola ayahku
Prof.H.Amien Rais. Pada saat kesempatan Pak Amien Rais datang ke USU dan
memberikan ceramah umum tentang situasi nasional dan pentingnya pergantian
pimpinan nasional, aku menjadi salah seorang dari ribuan mahasiswa yang ikut
mendengarkannya. Situasi pada masa itu membuatku harus selalu pulang malam
hari, ayahku tidak pernah membatasiku karena beliau sangat memaklumi padatnya
aktivitasku diluar rumah.
Pasca turunnya Presiden Soeharto,
agenda awal reformasipun mulai bergulir termasuk adanya multi partai dalam
dunia politik Indonesia. Kami para mahasiswa kembali ke Kampus meneruskan
pendidikan sembari tetap mengikuti dinamika sosial politik yang ada di tingkat
nasional. Pak Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional pada saat itu,
kulihat banyak teman-teman aktivisku khususnya dari kalangan Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah(IMM) menjadi voluntir untuk mendukung berdirinya partai itu,
mereka menggalang pembentukan komite-komite didaerahnya. Dirumahku, ayahku juga
sangat bersemangat mendengar tokoh idolanya akan mendirikan partai baru, banyak
hal yang dilakukannya, tetapi aku tidak terlalu mengikuti seluruh hal yang
dilakukan oleh ayahku tersebut.
Aku kembali ke dunia kampusku,
bagiku menyelesaikan pendidikan menjadi hal yang juga menjadi prioritasku. Aku
tidak begitu tertarik untuk memikirkan partai politik atau hal lainnya. Aku
hanya ingin mematangkan seluruh “PROSES” hidupku dimulai dari kampus.
Pada saat pemilihan Ketua Umum
Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), aku menjadi pilihan yang tidak
diinginkan oleh HMI pada saat itu, karena sikap tempramenku dan tidak ada kata
negosiasi untuk hal-hal yang prinsip. Pada masa itu biasanya HMI selalu mencalonkan
nama sendiri dan selalu saja berhasil menjadikan kader yang direkomendasikan
untuk menjadi Ketua Umum SMPT, dan berdasarkan rembug para senior di Kampus,
nama itu bukanlah namaku, tetapi nama seorang temanku satu angkatan. Aku tetap
saja tidak terlalu mempedulikan hal itu, aku terlalu sibuk dengan dunia band-ku,
bagiku yang penting adalah seluruh kampus mengetahui bahwa aku tidak peduli
dengan posisi dan jabatan formal di kampus.
Saat semakin dekat perhelatan
pemilihan Ketua Umum SMPT itu, beberapa teman yang biasa menjadi “aktivis
kantin” mendatangiku dan mengajak diskusi tentang hal itu, aku hanya
menyampaikan bahwa HMI sudah memiliki calon tersendiri dan akupun tidak terlalu
berminat ikut dalam pertarungan itu. Alfredi, Ketua GMKI yang juga satu kelasku
dengan tegas menyatakan bahwa GMKI tidak akan mengikutkan kadernya jika aku mau
maju jadi salah satu calon kandidat. Aku tetap saja belum mau untuk ikut
pencalonan, banyak memang pertimbanganku saat itu termasuk ketakutanku terhadap
pengaruhnya untuk perkuliahanku, karena kudengar selama ini aktivis kampus
sangat sedikit yang tamat kuliah sesuai waktunya, belum lagi ketakutanku
terhadap catatanku di saku ‘ummi” Djanius Djamin pada saat aku demo UNC dulu,
aku merasa menjadi orang paling tidak bisa kompromi dan kooperatif dengan pihak
kampus jika menyangkut hal-hal tersebut.
Tetap saja seluruh teman-temanku
itu memaksaku untuk ikut pencalonan dengan beragam argumentasi, akhirnya akupun
menyatakan kesediaanku dengan sebuah permintaan agar teman-temanku itulah yang
menjadi “pemain lapangan” di Kampus, karena aku tahu HMI punya pengaruh yang
sangat kuat di kampusku. Akhirnya kompetisi untuk menjadi Ketua Umum SMPT pun
digelar, hanya ada dua calon. Kedua-duanya adalah kader HMI, bedanya adalah
satu didukung secara nyata dalam organisasi serta para senior dan satunya lagi
didukung lintas organisasi kampus, yang tentunya juga melibatkan kader-kader
HMI secara personal. Dua kali digelar pemilihan karena yang pertama terjadi
deadlock dan ditunda beberapa minggu kemudian, peluang terbesarku adalah pada
saat penyampaian visi misi dan debat kandidat, seperti biasa aku tidak pernah
membuat teks, aku hanya menyampaikan pokok-pokok fikiranku yang ada diotakku, dan akhirnya pemilihan itu berakhir dengan
Aklamasi dan Keputusan Mutlak untuk mengangkatku menjadi Ketua Umum SMPT. Aku
punya tugas besar untuk membangun eksistensi pergerakan kampus di lingkungan
eksternal kampus lainnya, bersama-sama aktivis kampus-kampus besar lainnya
seperti USU, Unimed, IAIN, UMSU dan UISU, di internal tugasku adalah membuat
maksimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana kampus. Sampai akhir periodeku,
aku cukup mampu menjalankannya, dan akupun memiliki teman-teman lintas kampus
yang akhirnya menjadi orang-orang besar saat ini. Hingga pada akhirnya sebuah
pergerakan secara regional mampu kami lakukan dengan digelarnya Kongres
Mahasiswa Se-Sumatera, kongres yang menghimpun aktivis-aktivis kampus yang
berada di Sumatera, mulai dari aceh hingga lampung. Menyatukan berbagai
persepsi dan isu tentang bagaimana Sumatera mendapatkan porsi yang lebih besar
dalam berbagai aspek kehidupan bernegara pasca reformasi. Pokok-pokok fikiran
itu tentunya kami sampaikan dalam bentuk rekomendasi kepada pemerintah pusat
pada masa itu yang dipimpin oleh Presiden BJ Habibie, aku menjadi salah satu
delegasi yang diutus kejakarta untuk menyampaikannya, termasuk kepada beberapa
parpol besar pada saat itu.
Singkat cerita setelah
menyelesaikan D-3, akupun melanjutkan ke USU untuk menyelesaikan S-1 ku, disana
aku mengambil jurusan Ekonomi Pembangunan. Alhamdulillah, akupun dapat
menyelesaikan kewajibanku sebagai anak, yaitu menyelesaikan pendidikan
akademisku.
MASUK PARTAI AMANAT NASIONAL
DAN BERKENALAN DENGAN SERDANG
BEDAGAI
Seusai menamatkan S-1, aku memang
tidak pernah sekalipun melayangkan satu surat lamaran pekerjaan kemanapun, aku
berkeinginan untuk menjadi wiraswasta saja, bahkan aku masih asyik dengan
kegiatan keorganisasian.
Sebuah cerita setelah
menyelesaikan kuliahku, dan pada saat menjelang pemilu tahun 2004, ada seorang
ibu yang datang kerumahku dan berdiskusi dengan ayahku, sekembalinya sang ibu,
ayahku menyatakan bahwa ibu tersebut bermaksud untuk meminta salah seorang
putra ayahku untuk masuk menjadi anggota partai politik yang didirikan oleh
K.H.Zainuddin MZ dan dijanjikan akan menjadi calon anggota legislatif.
Sepanjang sepengetahuanku ayahku pada pemilu 1999 telah menjadi simpatisan dan
donatur dari sebuah partai yang didirikan oleh tokoh idolanya, partainya pak
Amien Rais, Partai Amanat Nasional. Dan secara pribadipun aku sangat
mengidolakan tokoh ini, tetapi selama aku berstatus masih mahasiswa tetap saja
aku belum mau masuk partai politik, meskipun teman-temanku semasa di Mesir
mendirikan sebuah partai juga. Tetapi hari ini, aku sudah menyelesaikan
perkuliahanku, ayahku bertanya apakah aku tidak tertarik untuk berjuang
disebuah partai politik, beliau membebaskanku untuk memilih kemana saja,
apalagi saat itu ada tawaran dari sebuah partai. Pada saat itu aku menyampaikan
kepada ayahku bahwa aku adalah putranya, putra dari seorang penggiat
Muhammadiyah, aku mengidolakan semua tokoh idola ayahku, aku hanya mau masuk
PARTAI AMANAT NASIONAL, tetapi aku hanya mau masuk organisasi pemudanya
terlebih dahulu, agar aku bisa lebih matang dalam dunia baruku itu. Akhirnya
akupun masuk BMPAN di Kecamatan Medan Timur.
Waktu terus berlalu, akupun terus
mengasah kemampuan berorganisasi dan jaringanku dengan orang-orang baru. Aku
banyak mengenal orang-orang hebat disini, orang-orang yang hanya kukenal lewat
media massa, mereka para tokoh PAN di Sumatera Utara dan Kota Medan. Disamping
itupun aku mendapat tawaran dari seorang sahabatku untuk menjadi dosen di
Fakultas Ekonomi Universitas Al-Washliyah Medan, awalnya aku mendapatkan dua
mata kuliah yang sesuai dengan jurusanku dulu, yaitu ekonomi pembangunan dan
ekonomi public. Uniknya adalah kami para staf pengajar tidak diberi gaji untuk
honor kami mengajar, karena mahasiswa-mahasiwa disana dibebaskan uang kuliah
hingga tamat, kami hanya mendapatkan honor setelah 6 bulan.
Aku menjadi salah satu dosen yang
ditugaskan untuk mengajar di kelas jauh, kelas khusus luar kota untuk
menghimpun masyarakat yang berminat untuk melanjutkan studinya di jenjang
perguruan tinggi tetapi terkendala di masalah waktu dan biaya. Kabupaten
pertama yang dibuka untuk kelas jauh Fakultas Ekonomi Univa itu adalah Serdang
Bedagai. Perkuliahan dilakukan sabtu minggu, dan aku menjadi salah satu dosen
yang mendapatkan tugas di Kabupaten itu.
Inilah awal pertamaku mengenal
serdang bedagai sekaligus orang-orangnya, saat itu aku melihat semangat yang
luar biasa di mata mereka, dan satu hal lagi yang kulihat ketulusan mereka,
seperti halnya ketulusan masyarakat pedesaan yang murni tanpa adanya sesuatu
pamrih, dan dari sisi umur banyak diantara mahasiswaku itu yang jauh umurnya
diatasku. Jika aku datang mengajar, mereka selalu menjamuku layaknya orang yang
sangat dihormati, padahal aku tidak terlalu nyaman jika harus diperlakukan seperti itu. Dan
sekali lagi aku melihat ketulusan itu.
Selintas aku berfikir bahwa
sepanjang hidupku aku selalu menemukan tempat-tempat terbaik berikut
orang-orangnya yang baik pula. Mungkin ini jalan yang harus kulalui, dan
tentunya tanganNYA yang mengatur semuanya ini.