Rabu, 22 Januari 2014

it's me & my story (biografi singkat Hendra Cipta)

 Sesungguhnya agamamu adalah pembening hati,penjernih pikiran, dan pengindah perilakumu, agar engkau menjadi jiwa yang ceria dalam pekerjaanmu, yang santun dalam hubunganmu dengan sesama, dan damai dalam tidurmu. Kemudian, Agamamu membangunkan jiwamu bersama mimpi indahnya, agar engkau menjadi jiwa yang menegakkan agamamu” (Mario Teguh)


Penggalan kalimat dari seorang motivator masyhur di Indonesia ini mengawali cerita singkat tentang seorang pemuda yang mengejar tujuannya untuk bisa memberikan manfaat bagi banyak orang yang ada, sebagai bukti cintanya kepada agamanya serta negerinya. Kisah ini bermula dari perjalanan kehidupan anak muda tersebut yang melewati benderangnya jalan disiang hari maupun gelapnya lorong pekat dimalam hari. Seorang anak yang baru lulus dari sekolah dasar negeri pada tahun 1986 tentunya jarang sekali memilih arah mana pendidikan yang akan ditempuhnya karena biasanya seorang anak selalu saja diarahkan oleh kedua orang tuanya, dalam berjalannya waktu ternyata banyak hal yang memberikannya jalan yang akhirnya dia masuk kedalam sebuah perjuangan yang mungkin bagi kalangan masyarakat biasa seperti dirinya akan sangat jarang untuk dapat kesempatan. Jalan menuju pengabdiannya, jalan menyempurnakan perjalanan hidupnya.

PERJALANAN MASA KECIL

Aku diberi nama oleh kedua orangtuaku dengan nama Hendra Cipta, yang tidak pernah kuketahui sebab musabab diberikannya nama itu kepadaku, dan itupun tidak pernah dijelaskan oleh mereka. Ayahku salah seorang pecinta dan penganggum sosok tokoh nasional seperti H.Agus Salim, H.Mohd. Natsir, serta Buya HAMKA yang menurutnya adalah inspiratornya dalam mempelajari agama Islam, banyak buku-buku mereka yang kulihat selalu dibaca oleh ayahku tersebut, menurutnya disamping kuatnya keteguhan mereka terhadap prinsip-prinsip perjuangan kemerdekaan dan keteguhannya dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan diluar dakwah ternyata juga tokoh tokoh tersebut berasal dari Sumatera Barat yang menurutnya buya Hamka itu adalah satu kampung dengannya.

H. Abdullah Chan nama ayahku, beliau menjadi salah seorang dari beberapa orang sahabatnya untuk menggagas berdirinya organisasi Muhammadiyah di kampong durian tempat kami tinggal. Sedangkan nama ibuku adalah Hj. Nur’aini Koto yang sepanjang kuketahui sejak aku kecil sudah masuk organisasi Aisyiah, meskipun tidak menjadi pengurus inti tetapi tidak pernah lupa untuk mengikuti pengajian maupun kegiatan-kegiatan organisasi tersebut.

Aku banyak mendengar kisah-kisah orang besar yang kusebutkan tadi dari ayahku, bahkan pada masanya dahulu ayahku menjadi salah satu pendukung MASYUMI yang sangat dipenuhi oleh berbagai cendikiawan muslim dalam perjuangan mereka dibidang politik, meskipun ayahku tidak pernah bertemu secara langsung dengan mereka tetapi yang kulihat dan kudengar ayahku sangat mengagumi sosok-sosok mereka.

Pendidikan awal yang aku peroleh tentunya dari kedua orangtuaku, sedangkan pendidikan formal aku peroleh di Sekolah Dasar Negeri 060867, saat itu sebagai seorang anak kecil tentunya aku berkeinginan seperti anak-anak lainnya yang sebelum masuk SD sudah menikmati pendidikan di Taman Kanak-kanak, tetapi aku tidak pernah mengecam senangnya bermain di Taman Kanak-kanak, tidak tahu lagu-lagu yang sering kudengar dari teman-teman masa kecilku itu, yang kutahu kedua orangtuaku itu pekerja keras dalam berdagang sepertinya mereka hanya mengetahui bahwa pendidikanpun tidak boleh disia-siakan dengan bermain-main seperti di Taman Kanak-kanak, meskipun banyak orang menyatakan bahwa pendidikan di TK itu adalah persiapan awal menuju SD tetapi bagi mereka itu tidaklah menjadi sebuah keharusan.

Di sekolah dasar yang kusebutkan tadi aku mengenal semua hal dari awal, berbeda dengan anak-anak lainnya yang ditunggu oleh ibunya disekolah, aku hanya dititipkan kepada seorang ibu tetanggaku yang kebetulan anaknya juga bersekolah ditempat yang sama, mulai dari hari pertama aku tidak pernah ditunggui di sekolah, aku memaklumi bahwa ibuku harus berdagang sejak pagi-pagi sekali dan ayahku harus ke pusat pasar juga untuk berdagang hingga aku tidaklah juga harus berkecil hati untuk tidak ditunggui oleh mereka. Dan anehnya aku tidak pernah menuntut untuk hal-hal seperti itu karena bagiku sekolah adalah keinginanku bukan keinginan mereka.

Semasa SD aku mengingat beberapa hal seperti aku harus mengaji sore hari di Madrasah Diniyah Muhammadiyah 13, lalu mengaji qur’an dimalam hari sehabis magrib hingga isya di mesjid Taqwa, hal-hal rutin seperti ini aku jalani semasa SD, dan Alhamdulillah aku selalu mendapatkan ranking di sekolah pagi maupun sore, yang kuingat aku mendapatkan hadiah berupa buku tulis karena mendapatkan prestasi itu.

Dirumah aku tetap saja selalu mendengar ayahku bercerita, bukan kepadaku memang tetapi kepada teman-temannya ataupun setiap tamu yang berkunjung kerumah, cerita tentang keislaman, tentang tauhid dan syariah, tentang Nasir dengan pemikirannya, tentang H.Agus Salim dengan kecerdikannya, tentang HAMKA dengan pemikiran tasaufnya mengenai Islam, dan juga rutin ayahku membeli kaset salah satu dai masyhur Kota Medan saat itu, Alm. H.Mahyaruddin Salim, beliau kerap memutar kaset dai kondang itu dirumah, dan dalam setiap pengajian yang diisi oleh ustaz itu di masjid kami, aku selalu dibawa untuk ikut mendengar ceramah beliau.

Tidak seperti anak-anak lainnya, aku tidak pernah menuntut sesuatu yang seperti didapatkan oleh anak-anak lainnya dari orang tua mereka seperti mainan serba mahal pada masa itu, aku tidak tahu apakah ini karena ketakutanku untuk meminta kepada orangtuaku atau memang karena ketidak inginanku untuk meminta hal-hal seperti itu, tetapi yang kuketahui anak-anak lainnya bersuka cita dengan segala macam permainan yang mereka punya, hiburanku adalah bermain ular tangga ataupun permainan ludo yang murah meriah.

Suatu ketika aku bersama ibuku pergi ke pasar petisah, disamping melihat kedai yang disana juga untuk berbelanja kebutuhan dagangannya dan kebutuhan rumah, saat tiba ibuku berbelanja disebuah toko yang bersebelahan dengan toko penjual sepeda, setelah selesai ibuku berbelanja dan saat mata kecilku tidak pernah beranjak melihat sepeda model BMX yang memang lagi naik daun dimasa itu, ibuku melihatku sekilas, tetap saja aku tidak pernah berani meminta dibelikan sepeda itu kepada ibuku, lalu ibuku menuntun tangan kecilku untuk berjalan menuju kedai kami dipetisah, lalu tidak berapa lama pun kami pulang kerumah karena hari sudah cukup sore. Sesampai dirumah dan selesai mandi sore seperti biasa tugasku menjaga kedai kami walau sebentar, meskipun hanya sekedar duduk duduk saja yang bisa kulakukan saat itu, tidak berapa lama saat aku menjaga kedai datanglah beca mesin membawa sesuatu yang membuat mataku bersinar cerah, yaaa sepeda yang kulihat tadi ternyata diantar oleh tukang beca itu kerumahku, ibuku yang baru selesai mandi dan sholat ashar tersenyum melihatku, tidak ada kata-kata darinya, hanya senyum saja. Sebagai seorang anak kecil yang masih kelas 3 SD akupun membawa barang pertamaku itu keliling disekitar rumahku sekaligus memamerkannya kepada semua kawan-kawan kecilku.

Ayahku juga bukannya tidak pernah memberiku mainan yang pasti akan kuingat sampai kapanpun, salah satunya adalah saat kedua orangtuaku kembali dari tanah mekkah menunaikan ibadah haji, seluruh abang dan kakakku mendapatkan oleh-oleh dari mekkah, aku berfikir kalau aku tidak akan pernah dapat apa-apa karena aku masih sangat kecil, apalagi mereka pulang dari mekkah tentunya tidak ada permainan yang bisa dibeli disana, tapi ternyata ayahku memanggilku kekamarnya dan membuka sebuah kotak yang berisi sebuah mainan, sebuah mobil mainan yang bisa dibuka keempat pintunya, dan sepanjang yang aku tahu dimasa itu belum ada kawan-kawanku yang punya mainan mobil-mobilan seperti itu.

Memang masa kecilku itu sepertinya terus dilatih oleh kedua orangtuaku, aku diberi jajan yang secukupnya dan tidak pernah bermewah-mewah, yang kuingat adalah jika aku ingin punya uang lebih dan punya tabungan, maka aku harus bekerja keras mengumpulkan plat-plat besi sisa pengikat buntalan kapas yang dibeli oleh kedua orangtuaku, plat-plat besi itu lalu kukumpulkan dan kujual ke tukang botot, akupun sering mengisi bantal ataupun guling kecil sekedar untuk mendapatkan uang jajan yang lebih dan kutabungkan ke Bank Mestika Dharma yang saat itu berada di jalan Sutomo Medan.

Inilah sekilas masa kecilku diwaktu SD, dan hari ini aku menyadari bahwa hari-hari yang telah kulalui itu semua ternyata membentuk diriku yang saat ini. Hari-hari yang kulalui itu telah menuntun langkahku kesuatu tempat yang tidak pernah diperkirakan oleh siapapun juga dirumahku, semuanya mengalir tanpa adanya dugaan sebelumnya, dan sepertinya ada “Tangan Ghaib” yang menuntun langkah kaki kecilku, membuka mata fikiranku dan membawaku berkenalan dengan dunia santri.

Memasuki Dunia Santri

“Pak, tamat SD ini aku mau masuk pesantren…” kata ini adalah kata pertama permintaanku kepada kedua orangtuaku, ayahku yang sedang membaca buku sejenak menurunkan bukunya dan melihat anaknya yang kurus ini dengan mata setengah tidak percaya, tidak pernah dia membayangkan anaknya yang sedang menunggu ijazah SD ini meminta hal yang diluar dugaannya, dalam fikirannya aku bakal seperti abang dan kakakku yang biasanya tamat SD akan melanjutkan ke SMP yang menjadi rayon sekolahnya, dan diapun tidak pernah mengarahkan aku sesuai dengan permintaanku itu, yang mungkin dalam fikirannya adalah anak sekecil ini harus jauh dari orangtuanya, jauh dari kota Medan untuk kesebuah desa karena memang saat itu belum ada pesantren yang dekat dengan kota Medan (pilihannya adalah pesantren musthafawiyah di purba atau pesantren A-Thoyyibah di Pinang lombang), anak sekecil ini harus menyuci dan menggosok sendiri, mandi dengan menimba air sendiri dan mengurus semua keperluannya sendiri di sekolah berasrama. Tetapi dibalik seluruh pertanyaannya itu, ayahku tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya, dia tersenyum dan berkata akan mengurus semuanya untuk aku bisa sekolah ke pesantren. Akupun lega karena aku cukup memberanikan diri untuk meminta sesuatu dan ternyata tidak ditolak oleh ayahku.

Seusai tamat SD, akupun diantar oleh ibuku ke desa pinang lombang Rantau Prapat, tempat pendidikan agama Islam yang cukup masyhur dizaman itu, Pesantren At-Thoyyibah Indonesia yang diasuh oleh Buya H. Adenan Lubis, perjalanan ke pesantren yang menempuh hingga 7 jam ini ternyata tidak membuatku lelah saat sampai disana, akupun ditempatkan diasrama sementara dengan beberapa santri yang lebih dulu belajar disana, ibuku yang menghantarku juga ikut menemani diasrama tersebut sambil ngobrol dengan beberapa santri dan akupun hanya mendengarkan saja, mungkin karena terlalu letih akibat perjalanan jauh. Lonceng tanda untuk mandi sore berbunyi yang juga menjadi waktu jeda menjelang magrib berjamaah di masjid, akupun diajak beberapa santri untuk kesumur yang tak jauh dibelakang asrama santri putra, ibuku menyiapkan handuk, odol, sikat gigi, sabun dan ember kecil untuk menimba air, akupun berjalan kesumur dengan keluarga baruku yaitu para santri At-Thoyyibah. Seusai mandi kamipun bergegas kembali ke asrama untuk bersiap-siap untuk ke masjid, yang kulihat adalah pakaian di lemariku telah tersusun rapi, tetapi aku tidak melihat ibuku, setelah kupakai sarungku, baju putih dan kopiah baruku tetap saja aku tidak melihat ibuku, dari seorang santri kudengar penjelasan bahwa ibuku sudah pulang ke Medan, tanpa pamit kepadaku dan akupun tidak sempat menyalaminya, aku terdiam sejenak dan sambil berfikir mungkin saja ibuku tidak mau membuatku lemah saat harus meninggalkanku atau mungkin saja ibuku tidak mau aku melihat airmatanya yang jatuh saat meninggalkan putra kecilnya, tetapi semua itu tidak pernah membuatku gusar dan bersedih, aku tidak seperti anak-anak lainnya yang kulihat menangis dan merengek-rengek kepada orang tuanya saat hendak mau ditinggalkan di pesantren.

Saat masa-masa di pesantren tentunya banyak hal yang dapat kupelajari, aku ingat betul ketika pertama kali untuk menyuci bajuku, makan bersama-sama santri lainnya tanpa bisa memilih menunya, beraktivitas secara penuh sejak menjelang subuh hingga tidur kembali pada malam harinya, kegiatan santri yang sungguh sangat padat, kami terus dilatih dan ditempah untuk menjadi generasi unggulan, yang bukan hanya dibidang dakwah maupun agama saja tetapi juga dibidang ilmu sosial yang lainnya. Berpidato dalam 3 bahasa (Indonesia, arab dan inggeris), mengaji, berdebat dalam suasana santun, membangun ukhuwah islamiyah yang erat, saling tolong menolong serta yang utama adalah hormat dan patuh pada para pengajar dan orang yang lebih tua umurnya menjadi hal-hal rutin yang kami lakukan selama di pesantren. Disisi lain kami juga diasah bakat dan kemampuan dalam bidang-bidang lainnya seperti olahraga dan kesenian, maka pada umumnya anak-anak pesantren sangat menguasai minimal 3 jenis olahraga popular, mampu mengekspresikan sisi indahnya seni melalui puisi, lagu bahkan drama. Semuanya ini hal yang rutin dilakukan di pondok pesantren kami.

Sisi perkembangan pendidikanku tentunya cukup membanggakan bagi diriku sendiri dan tentunya bagi ayah ibuku, meraih ranking 3 besar sejak tsanawiyah hingga aliyah secara bergantian menjadi sisi kebanggaan manusiawiku, satu hal yang sangat aku kenang adalah disaat aku pulang ke medan pada waktu aku duduk dikelas 2 Tsanawiyah pada saat bulan Ramadhan di mesjid sekitar rumahku menyambut malam 17 Ramadhan dengan melakukan berbagai perlombaan, diantaranya adalah lomba berpidato. Pada saat itu akulah peserta paling terkecil secara fisik dan umur, sebab peserta lainnya adalah para mahasiswa IAIN semester awal. Aku berpidato didepan ayahku, seluruh guru masa SD-ku, dan jamaah yang ada setelah Shalat Tarawih, aku berpidato begitu semangatnya membahas khilafiah dalam islam, perbedaan dan perseteruan antara NU, Al-Washliyah dan Muhammadiyah didepan jamaah yang notabenenya adalah jamaah Muhammadiyah yang turut didirikan oleh ayahku di sekitar rumahku, aku membahas pentingnya toleransi antar organisasi islam pada masa itu, kulihat seluruh mata melihatku, dan dalam hatiku sungguh sangat takut apakah aku salah dalam menyampaikan isi pidatoku, tetapi yang kulihat ayahku H. Abdullah tersenyum, salah seorang guruku Al-Ustaz H. Armiya Yusuf juga tersenyum, hal ini menambah semangatku, dan yang kudengar dari jamaah itu adalah pujian untuk anak kecil sebesar aku pada masa itu karena mampu berpidato seluruhnya tanpa teks. Sebagai seorang anak kecil aku juga berharap untuk dapat memenangkan perlombaan dan tepat pada 17 Ramadhan pengumuman perlombaan pun dilakukan dimesjid tersebut, aku sang anak kecil itu meraih juara 1, begitu senangnya aku karena aku bisa mengalahkan salah seorang mahasiswa IAIN unggulan yang sudah dianggap calon dai dimasa akan datang, abangnda Andi Surbakti namanya, beliau pada masa selanjutnya menjadi salah seorang aktivis Muhammadiyah yang sangat sederhana, dan saat ini menjadi pengurus DIKDASMEN Muhammadiyah Kota Medan. Tidak ada pujian dari ayahku maupun ibuku, hanya senyum mereka yang tulus untukku karena semua itu.

Haripun terus berlanjut, berbagai suasana di pesantren kualami, mulai dari penerangan pesantren kami yang menggunakan tenaga mesin hingga masuknya aliran PLN ke pesantren kami. Di pesantren pulalah aku berkenalan dengan berbagai orang santri yang sampai hari ini menjadi sahabat-sahabatku yang tentunya juga bukan berarti mengecilkan arti pertemanan dengan santri-santri lainnya. Diantara para sahabatku hingga saat ini semisal H. Abdurrahman,LC,MA (seorang pendakwah yang luar biasa, alumni Universitas Al-Azhar Mesir yang penuh prinsip dan teguh terhadap syariat) aku seringkali berdiskusi dan meminta nasehat dari sahabatku ini, saat ini beliau menjadi tenaga pendidik, pendakwah dan pembimbing ibadah haji dan umrah di kota Medan. Lalu ada sahabatku H.Riswanto Wage,Lc (sosok sederhana yang penuh pertimbangan yang juga alumni Al-Azhar Mesir, saat ini dipercaya menjadi pimpinan sekolah Hikmatul Fadhila di Medan), H. Sarbini Tanjung (sahabatku yang satu ini kalau diceritakan perjalanan hidupnya akan memberikan inspirasi bagi siapa saja, bagaimana ia berjuang bertahan untuk menyambung hidup dan pendidikannya di mesir, saat ini beliau menjadi salah satu pembimbing umrah yang masyhur di travel “AL-FATIH” Medan). Adapula H.Indra Suardi,Lc,MA (senior diatasku setahun, saat ini menjadi kepala sekolah SMP di Shafiyatul Amaliyah Medan, sekolah islam bergengsi kata teman-temanku). Hj.Susan Abdah Nst yang saat ini menetap dan menjadi pengasuh di Pesantren At-Thoyyibah Indonesia bersama suami dan anak-anaknya, Syarifah Hidayah sahabatku yang kini pengajar di depok disamping menjadi ibu rumah tangga yang berhasil mendidik anak-anaknya.  Dan ada beberapa sahabat lainnya yang tidak dapat kusebutkan satu persatu disini. Semua sahabatku itu kutemui disebuah tempat yang bernama pesantren.

Berbagai prestasi kuraih dengan para sahabatku, aku bersama Abdurrahman dan Riswanto pernah menjadi juara 1 cerdas cermat tingkat aliyah sekabupaten labuhan batu, lalu kamipun berhak mewakili kabupaten ke tingkat propinsi yang dilaksanakan di kota Lubuk Pakam, disini kamipun berhasil masuk final dan berhadapan dengan orang-orang pintar dari MAN-1 Medan dan Man-2 Medan. Uniknya kami yang difinal ini seluruhnya adalah anak medan, hanya saja kami mewakili kabupaten labuhan batu karena sekolah kami di kabupaten tersebut, kami cuma mampu meraih juara 3 pada saat itu.

Lucunya pada saat pembagian jurusan dikelas 2 Aliyah aku sedikit berpolitik ala sekolah saat kulihat sahabatku Riswanto yang berat kusaingi mengambil jurusan agama, Abdurrahman mengambil jurusan biologi, maka akupun tidak mau bersaing dengan mereka yang kutau lebih pintar dariku, akupun memilih jurusan sosial agar tetap eksis dalam menjaga posisi rankingku, bagiku ini siasat yang lucu-lucu saja dan meskipun terbukti berhasil menjaga zona amanku.

Bersama teman-temanku lainnya kamipun pernah meraih juara 1 sepakbola se kabupaten Labuhan Batu mengalahkan seluruh sekolah aliyah disana, betapa aku sangat bersyukur dapat bersekolah dipesantren yang ternyata memberikan banyak kebisaan kepadaku untuk menjadi bekalku hingga saat ini.

Pada saat menjelang aku tamat Aliyah, disituasi masyarakat yang sangat mengidolakan sosok Tri Sutrisno yang dianggap sebagai anak pesantren yang berhasil meraih prestasi politiknya di masa presiden Suharto, dunia pesantren menjadi sangat populer, banyak masyarakat yang mengirimkan anak-anaknya untuk bersekolah dilembaga pendidikan satu ini. Umumnya anak pesantren sangat terinspirasi dengan sosok Tri Sutrisno seorang jenderal yang agamis menurut kami, banyak diantara kami yang berangan untuk mencoba menjadi ABRI, begitu juga aku meskipun aku tau itu bukanlah suatu yang mudah.

Tamat aliyah akupun seperti halnya dengan anak-anak lainnya, bingung mau menuju kemana selanjutnya, aku sampaikan ke ayahku untuk mendapat izin mencoba ABRI tetapi ayahku tidak member izin karena mungkin dengan berbagai pertimbangan yang aku sendiripun tidak pernah tahu, lalu ibuku memberikan pencerahan untuk mencoba di APDN ataupun STPDN saat ini karena salah seorang pamanku yang menjadi kabag humasy di pemko Medan Drs.Niwal Hasyim menjadi inspirasi ibuku, seorang PNS akan terjamin masa tuanya kata ibuku saat itu. Akupun bersama ibuku membawa ijazah Aliyahku untuk ditunjukkan pada sang paman, tetapi ternyata pamanku menyatakan bahwa lulusan Aliyah tidak bisa diterima menjadi siswa APDN/STPDN pada masa itu, akupun tetap saja mencari jalan lain untuk melanjutkan pendidikanku, kuminta saran dari salah seorang abangku yang saat itu kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Nommensen (pada saat itu universitas ini menjadi universitas swasta yang terbaik untuk fakultas ekonomi), akupun mendaftar dan mengikuti ujian masuk universitas itu, pada hari pertama aku masuk ruangan kelas, tidak lebih dari setengah jam akupun keluar dari ruangan ujian, bukan karena aku telah selesai mengerjakan ujian ataupun bukan karena aku tidak sanggup mengerjakannya tetapi aku kurang nyaman dengan suasana dikelas itu. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke pesantren guna melanjutkan pendidikan dengan mengambil kelas 7 di pesantren, yang bagi sebuah pesantren kelas ini adalah kelas akhir untuk mendapatkan pemantapan, dikelas ini akupun bertemu dengan sahabat-sahabatku yang kusebutkan tadi, suka duka kami dikelas akhir ini menjadi pamungkas segala hal, kami diberikan bekal ilmu yang tidak sama dengan kelas dibawah kami, seluruhnya langsung dibawah pengawasan Alm.H.Adenan Lubis, pendiri dan pengelola pondok pesantren kami, sosok “Ayah Kami” yang menjadi pengganti ayah biologis kami semua.

Disuatu sore menjelang sebulan kami akan tamat kelas 7 itu, aku piket bersama sahabatku Abdurrahman didepan gardu pintu masuk wilayah pondok pesantren, seperti biasa kami duduk sambil berdiskusi tentang rencana-rencana hendak kemana melanjutkan setelah semua ini kami lalu. Semua peluang kami diskusikan, hingga tanpa sadar sahabatku itu menyatakan bahwa ada alumni kami yang saat ini kuliah di Al-azhar Mesir kerap saling berkirim surat dengannya, menceritakan seluruh keadaan disana. Naluri petualangku muncul saat itu, aku ingin mencoba sesuatu yang belum banyak dirasakan oleh kebanyakan orang tetapi aku membayangkan situasi yang sangat sulit saat disana, membayangkan alat komunikasi yang sulit, membayangkan hidup sendiri bersama teman sebaya dinegeri orang yang sangat jauh. Namun kami akhirnya mengambil kesimpulan bahwa kami akan mencoba hal itu sesulit apapun itu, kami memutuskan agar Abdurrahman menanyakan detail tentang persyaratan dan cara untuk bisa sampai kesana, negeri Mesir, negeri sejuta menara itu.

Mesir Negeri Sejuta Menara

Alumni kelas 7 dilepas seperti biasanya melalui proses yang cukup sakral yaitu pada tanggal 05 Februari 1994 sesuai dengan tanggal berdirinya pesantren kami dan acara tasyakkur untuk seluruh warga pesantren dan keluarga santri, dua ribuan lebih orang melihat kami menerima ijazah tanda kami menuntaskan secara sempurna masa dididik di pesantren itu, banyak tawa dan tangis kami para alumni yang harus berpisah dengan guru kami yang mendidik kami sejak kami anak-anak yang berumur 13 tahun hingga dewasa berumur 20 tahun, masa pendidikan ketat yang kami alami selama 7 tahun, melihat dan meninggalkan seluruh kenangan masa kecil kami dipesantren itu, tapi ini semua adalah sunatullah sebut “ayah kami”, hal yang biasa dan harus ditempuh katanya saat kami berpamitan untuk pulang kerumah kami masing-masing, banyak petuah terakhir yang diberikannya kepada kami saat itu, yang kutahu”ayah kami” ini sangat jarang sekali melepaskan ekspresi kesedihannya tetapi hari itu matanya berkaca dan berair dibalik kacamata coklatnya, kami tidak tahu dengan ekspresinya itu terhadap kami untuk maksud dan tujuan apa, kami hanya tahu bahwa inilah sosok “ayah kami” yang menjaga kami selama 7 tahun, seorang ayah yang akan melepaskan anak-anaknya untuk keluar dari lingkungan yang selama ini dibinanya.

Seminggu berselang sejak perpisahan kelas 7 itu, aku dan sahabatku terus intens mempersiapkan rencana kami, padahal sedikitpun aku belum menanyakan izin dari kedua orang tuaku, aku takut izin itu tidak akan pernah aku dapati, tetapi ternyata saat aku menyampaikan itu kepada ayah ibuku kedua kembali tersenyum seperti biasa dan memberikan izinnya, malah yang kulihat ayahku sangat berbahagia dengan permintaanku ini.

Aku dan Abdurrahman menyampaikan rencana kami ini kepada alumni kelas 7 yang satu angkatan dengan kami tetapi ternyata ada beberapa sahabatku yang lainnya juga ingin melakukan hal yang sama seakan tidak mau berpisah, Riswanto, Sarbini, Irwansyah Pasaribu bahkan seorang perempuan yang bernama Susan Abdah Nasution juga ingin untuk melanjutkan kuliah di Al-Azhar Mesir. Sahabatku yang lainnya memberikan support dan do’a mereka agar kami bisa mewujudkan keinginan kami itu.

Setelah bertanya kesana kemari kepada alumni Al-Azhar yang sudah kembali ke Medan, dibantu dengan seluruh persiapan yang cukup, akhirnya seluruh persiapan keberangkatanpun sudah rampung, dan kamipun berenam berjanji untuk bertemu di bandara polonia pada saat berangkat nanti, tetapi sebelumnya kami berenam meminta bimbingan Alm. “Ayah kami” H.Adenan Lubis, pada saat itu yang kuingat kata-katanya adalah “Anak-anakku, tempat yang akan kalian tuju itu sangatlah jauh, kalian akan melihat banyak hal disana, mengalami banyak persoalan disana dan ingatlah bahwa kalian ini harus selalu bersama dalam situasi apapun, menjaga hubungan kekeluargaan sesama kalian, sesulit apapun yang kalian hadapi jikapun hanya ada sepotong roti untuk kalian makan maka kalian harus membaginya menjadi enam bagian yang sama banyaknya, satu hal lagi kelima anakku yang lelaki ini menjadi wajib untuk menjaga saudarimu Susan ini, kalianlah yang menjadi wakil dari ayahnya selama disana, dan ingat anak-anakku suatu saat kalian harus kembali ke pesantren kita dalam posisi apapun, ajarkanlah semua yang kalian peroleh, motivasilah adik-adik kalian yang saat ini belajar di pondok kita”. Hanya itu yang kuingat dari “Ayah kami’ itu.

Pagi pada saat keberangkatan yang kuingat pada bulan april 1994, ramai keluargaku sudah ada dirumahku, memberikan banyak hal, termasuk uang sebagaimana kebiasaan seorang anggota keluarga yang akan berangkat, untuk beli jeruk dijalan katanya, tetapi uang itu masih dalam bentuk rupiah dan ternyata ada kejadian lucu dengan uang rupiah itu saat kami transit bermalam di jordania, ibuku serta seluruh abang kakakku nampak sedih dan menangis saat aku harus pamit berangkat, mereka membayangkan hal tersulit yang bakal aku hadapi selama aku di mesir, pelukan dan ciuman mereka kepadaku membuat akupun ikut menangis, lalu ayahku…, ayahku juga menangis saat aku memeluknya, anak kecilnya akan berangkat jauh, dan aku barulah sekali ini melihat ayahku menangis padahal yang kuingat beliau sudah 4 kali berangkat haji dan tidak satupun ada airmatanya yang jatuh saat berangkat haji, tidak seperti ibuku. Tidak ada satupun pesannya, hanya ada airmatanya, dan ayahku tidak mau menghantarku ke bandara bukan karena hal-hal yang aneh, tetapi mungkin saja dia tidak mau jika aku tahu dia tidak kuat melepasku saat dibandara nanti. Akupun berangkat dari rumah bersama ibuku, kakak, dan abangku serta beberapa keluargaku.

Di bandara polonia medan ternyata seluruh sahabatku sudah ada disana bersama keluarganya juga, mata-mata yang berkaca kaca kulihat semuanya, lalu setelah setengah jam kamipun mendengar panggilan untuk naik kepesawat yang akan membawa kami ke kuala lumpur, isak tangis semakin menjadi,seluruhnya menangis saat kami menenteng tas kami, ibuku terus saja menciumiku sambil menangis, para sahabatku yang akan kami tinggalkan juga menangis, Syarifah, Feriza, Amin, Ismantoro. Syarifah yang paling kuat tangisnya karena memang diantara semua sahabatku yang ada, dialah yang paling dekat dengan keluargaku, ibuku sudah seperti menganggap dia sebagai anak kandungnya selama ini.

Enam orang anak muda berumur 20 tahun meninggalkan semua orang yang dicintainya, meninggalkan semua sahabat yang dekat dengannya, mereka-reka apa yang bakal dihadapi selama dalam perjalanan, membayangkan situasi mesir yang tidak pernah kami tahu gambarannya.

Kami berangkat menuju mesir setelah transit dibeberapa tempat, 2 jam transit di penang Malaysia, 1 malam transit di kuala lumpur dan kamipun menyempatkan diri untuk berkeliling di Kuala Lumpur Malaysia bahkan kami sempat menelpon ke orang tua kami masing-masing di Indonesia, lalu transit 1 malam di Jordania.

Awalnya semua mudah karena bahasa yang digunakan masih berbahasa melayu, tetapi pada saat di Jordania masalahpun mulai bermunculan terutama persoalan bahasa, kami terbiasa dengan bahasa arab Fushah bukan Hammiyah, ditambah lagi dengan terlalu cepatnya orang arab itu berkata kata hingga kami sulit mencerna maksudnya, perlahan kamipun bisa memahaminya. Banyak kejadian lucu selama berada di Jordan, seperti permintaan tips dari petugas pengangkut barang yang membawa barang kami ke bus yang akan mengangkut kami kehotel Aliya Jordan, kamipun bingung karena uang yang kami bawa adalah uang dollar amerika, pecahan terkecilnya pun pecahan 10 dollar, kalkulator otak kamipun jalan menjumlah uang tips yang akan kami berikan,  pada saat itu nilai 1 USD sekitar Rp 2.400,- , terlalu besar menurut fikiran kami untuk memberi tips, akupun teringat dengan uang pemberian dari salah seorang keluargaku yang dalam bentuk rupiah dan masih ada di kantongku, kulihat ada pecahan Rp. 500,- yang bergambar monyet kuingat saat itu, lalu kuberikan kepada orang arab itu, sepertinya dia heran karena menurut dia itu uang dollar amerika senilai 500 dollar, tentunya itu luar biasa banyaknya untuk ukuran tips, diapun berlalu sedangkan aku bersama sahabat-sahabatku bergegas naik dan berharap agar bus itu cepat berangkat menuju hotel dan tentunya tidak berharap petugas itu datang lagi menemui kami.

Keesokan harinya, kami melihat tiket kami yang menunjukkan kami harus berangkat jam 2 siang menuju kairo mesir, kamipun bersiap-siap untuk berangkat, tetapi kami tidak tahu mau naik apa ke bandara, dan petugas hotel menyatakan bahwa akan ada bus yang akan membawa kami nanti, tetapi kami tidak melihat satu bus pun, karena takut akan ditinggal oleh pesawat maka kami mencoba bertanya kepada bagian informasi, sebelum bertanya kamipun membagi tugas siapa yang harus bertanya, karena dari sisi bahasa arab yang paling mengerti itu adalah Abdurrahman dengan Riswanto maka kepada kedua orang itulah yang mendapatkan tugas itu, awalnya Abdurrahman bertanya, kulihat agak lancar obrolannya dengan petugas informasi itu, sahabatku itupun kembali dengan wajah agak pucat lalu bilang “gawat kita ni, katanya pesawat sudah berangkat, kita ini sudah terlambat..!!”, semua kami stress jadinya, tapi Riswanto yang kami kenal selama ini cukup bijak menyatakan mungkin rahman salah mengartikan bahasa arab orang itu, diapun berdiri maju dengan gagahnya dengan sarbini dan berkata “Speak English Please..!”, sang petugas informasi kembali menjelaskan dalam bahasa ingeris yang sangat cepat dan lancar, lalu Riswanto dengan sarbini kembali ke tempat duduk kami sambil pucat juga dan menyatakan “Lebih parah, gak ngerti aku, entah apapun yang dibilangnya, cepat kali..mungkin betollah kita udah ketinggalan pesawat”. Kembali kami bertambah stress kemana kami mau mencari tiket lagi, uangpun terbatas untuk bekal kami dimesir selama 6 bulan, akhirnya kamipun tetap saja kurang puas dan bersama-sama mendatangi lagi petugas informasi itu, kecuali Susan yang kami tugaskan untuk menjaga tas kami, kami meminta petugas itu untuk menjelaskan apa yang sebenarnya, petugas itupun menjelaskan dan sepertinya dia faham bahwa kami kurang mengerti maka dia menggunakan bahasa yang paling universal yaitu bahasa tarzan, dengan mimik, gerak tangan dan contoh pesawat kecil dia menjelaskan, ternyata memang kami bukannya ketinggalan pesawat, tetapi petugas itu dengan bahasa tarzannya menyatakan bahwa pesawat kami di “Delay” hingga pukul 5 sore…. Hahahaha

Setibanya kami di bandara di Kairo Mesir, ternyata kami sudah disambut oleh beberapa senior kami yaitu Al-ustaz Akhiruddin,LC (yang sempat menjadi anggota DPRD Deli Serdang dari salah satu partai), beliaulah yang pertama kali menyapa dan menjemput kami lalu membawa kami ke sebuah apartemen yang ternyata sudah dicarikannya sebelum kami sampai di Kairo, kami seluruhnya kecuali Susan berada di satu apartemen dan dipimpin oleh seorang senior yang berasal dari Tapanuli Selatan.

Pada saat kami datang ke mesir, Universitas Al-Azhar belum membuka pendaftaran karena biasanya dibuka pada bulan juli, untuk mengisi kekosongan waktu, maka kami mengambil kursus singkat selama beberapa bulan untuk menyempurnakan bahasa arab kami, sambil terus mempelajari bahasa yang umumnya dipakai sehari-hari dalam pergaulan sosial di Mesir. Mengisi kegiatan kami dengan membedah buku setiap selesai sholat subuh, berdiskusi tentang tokoh Islam yang sangat masyhur, tokoh perkumpulan Ikhwanul Muslimin yang terkenal keseluruh penjuru dunia, tentang Hasan Albanna, tentang  Sayyid Qutub (Tokoh Ikhwan yang dihukum gantung dan terkenal dengan bukunya  “Fie Dzilalil Qur’an atau dibawah lindungan qur’an), kami diajari untuk berbelanja kebutuhan sendiri yang pada awalnya didampingi dan lambat laun dilepas sendiri, mengunjungi tempat tempat yang fenomenal dimesir mulai dari Pyramid Gizza dengan sphinx-nya hingga berziarah kemakam ulama yang sangat terkenal didunia yaitu Imam Syafi’i.

Dan karena saat kami datang adalah saat pergantian musim dari musim panas ke musim dingin, kamipun rajin untuk berolahraga sepakbola setiap jum’at pagi, karena para senior tersebut tidak kuliah pada hari itu, kami berkunjung kesana kemari ke apartemen para mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, sambil berkenalan juga untuk berbagi pengalaman. Bergaul dan berkenalan dengan berbagai mahasiswa antar bangsa meskipun dengan bahasa yang terbata-bata, kami tetap berupaya memperlancar bahasa pasaran kami.

Singkat cerita setelah melalui beberapa waktu, kamipun diterima di Universitas Al-Azhar dengan jurusan yang berbeda-beda, kami hanya boleh membuat 2 pilihan dan yang memutuskannya adalah pihak Al-Azhar, Abdurrahman dan Irwansyah di Fakultas Syari’ah Islamiyah, Riswanto dan Sarbini di Ushuluddin, Susan memang terpisah dari kami karena dia adalah mahasiswi yang tentunya harus bersama mahasiswi pula, aku tidak tahu betul Fakultasnya, sedangkan aku diterima di Fakultas Syari’ah Wal Qanun. Ini adalah pilihan pertamaku saat itu, mengapa harus fakultas itu..?, karena aku beranggapan aku lebih tertarik untuk mempelajari Hukum Qanun bukan Hukum Islam, mungkin karena naluri ilmu sosialku yang menggiringku kearah sana.

Aktivitasku diperkuliahan tergolong biasa seperti mahasiswa lainnya, menghadiri ceramah kuliah umum saat beberapa tokoh hadir, aku juga ikut berdesak-desakan untuk mengambil tempat saat menghadiri ceramah umum Syeikh Yusuf Qhardawi yang terkenal itu di perkumpulan mahasiswa Malaysia. Sedangkan diluar perkuliahan aku menjadi anggota HPMI (Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia) di Mesir yang katanya memang menjadi syarat utama jika kita berurusan dengan Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI Mesir, dan pada akhirnya organisasi ini berubah menjadi PPMI Kairo Mesir.  Aku juga menjadi tim inti sepakbola di klub Toba (Klub sepakbolanya mahasiswa yang berasal dari Sumatera Utara), Klub sepakbola ini selalu saja menjuarai kompetisi mahasiswa antar propinsi yang selalu digelar setiap tahunnya. Di kampuspun aku juga masuk tim inti sepakbola fakuktas yang bergabung dengan mahasiswa dari berbagai negara lainnya dan aku satu-satunya orang Indonesia, dalam tim ini aku mendapat penghargaan dalam sebuah turnamen sebagai pemain teladan dan piagamnya kusimpan rapi hingga saat ini. Saat kejuaraan mahasiswa antar Negara digelar, aku juga termasuk dalam tim Mahasiswa Indonesia, moment yang sangat tidak terlupakan saat mendengar lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan di stadion, aku terharu dan mataku berkaca-kaca, aku teringat dengan semua ke-Indonesiaanku dan seluruh orang-orang yang kucintai di Indonesia, tim ku ini terhenti hingga sampai semifinal saat kami kalah dari mahasiswa Thailand.

Satu tahun aku menjalani semua rutinitas itu, hingga pada saat musim haji pada tahun 1995 yang kebetulan aku juga dalam masa menjelang ujian, hatiku menggerakkanku untuk berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah, tidak ada satupun halanganku untuk mewujudkan niatku itu, aku bertekad untuk berangkat haji meskipun segala hal pengurusan visa dan sebagainya harus kuurus sendiri yang tentunya berdasarkan informasi mahasiswa lainnya, aku begitu takutnya jika kesempatan itu tidak terulang lagi pada tahun berikutnya. Pada musim haji tahun itu akupun berangkat ke Jeddah dengan mempergunakan kapal laut yang memakan waktu 3 hari, banyak kisah selama perjalanan itu bersama seluruh jamaah calon haji lainnya yang berasal dari mesir, tidak ada travel haji yang membimbing pada saat itu karena semuanya harus ditempuh dengan sendirinya dengan bimbingan beberapa senior yang kebetulan juga ikut berangkat.

Banyak pengalaman spiritual yang kuperoleh selama masa menunaikan ibadah haji itu, betapa bergetarnya hatiku saat pertama kali menatap Baitullah itu. Selama musim haji aku menumpang di rumah tempat berkumpulnya mahasiswa tapanuli selatan yang belajar di Mekkah. Jika aku turun ke Masjidil Haram maka biasanya aku kembali ke rumah itu 3 hari kemudian untuk mencuci baju dan menggosok, dan saat berada di sekitar Masjidil Haram pada malam harinya aku hanya tidur menggunakan selembar sajadah di seputaran masjid yang agak lengang dari kegiatan petugas kebersihan masjid yang bekerja rutin setiap jamnya untuk membersihkan Masjidil Haram itu. Dan banyak ceritaku semasa menunaikan ibadah haji itu, masa-masa itu seakan terulang dalam fikiranku saat aku menuliskan semua ini, mungkin karena pada saat itu umurku baru 21 tahun dan ditambah lagi bagiku inilah pengalaman yang sangat berharga melebihi apapun dari seluruh pengalaman yang telah kulewati.

Singkat cerita pada tahun 1996 dibulan april ibuku mengunjungiku ke mesir yang juga berencana untuk melaksanakan umroh melalui mesir, tidak pernah kubayangkan ibuku yang orang desa itu dan tidak menguasai satupun bahasa asing berangkat sendirian ke Mesir, aku begitu takutnya dengan perjalanannya yang cukup panjang itu, tetapi Alhamdulillah ibuku sampai juga ke mesir, dipeluknya dan diciumnya aku sambil menangis saat pertama kali melihatku di bandara. Selama berada di Mesir, aku membawa ibuku berjalan-jalan ketempat-tempat wisata layaknya ibuku sedang berwisata, mengunjungi mesjid Husain, mengunjungi makam imam syafii, dan banyak tempat lainnya, selama dimesir ibuku dan aku menginap di rumah salah satu staff KBRI yang kebetulan sangat dekat denganku, tetapi yang kulihat dari semua kebahagiaan ibuku itu ternyata ada sesuatu yang sangat disembunyikannya, aku sangat mengenal ibuku itu, beliau sangat pintar menyimpan sesuatu, hingga saat akan berakhirnya visa ibuku dan kebetulan untuk melaksanakan umroh tidak bisa pada saat itu, ibuku mengajakku untuk pulang ke Indonesia. Sesuatu yang membuatku sangat terkejut karena memang selama di mesir sedikitpun ibuku tidak pernah menyinggung hal itu, saat aku bertanya kepada ibuku mengapa aku harus pulang, ibuku menyatakan lebih baik menelpon ayahku terlebih dahulu. Dari pembicaraanku dengan ayahku ternyata ayahku dalam keadaan sakit yang cukup mengkhawatirkan pada saat itu, ayahku berpesan dengan suara yang kuketahui memang benar dalam keadaan itu agar jika akupun harus pulang maka aku harus mengambil tiket pulang pergi untuk kembali ke mesir, tetapi ibuku punya fikiran lain, sepertinya ibuku tidak berkeinginan aku bertahan di mesir, aku tidak pernah berfikir panjang, aku mengambil sikap yang sama dengan ibuku, entah karena ayahku yang kuketahui sedang dalam keadaan sakit itu ataupun kerinduanku yang sangat mendalam terhadap Indonesiaku. Aku tidak ingin jauh dari ayahku itu apalagi dalam keadaan sakit, maka akupun memutuskan untuk berhenti kuliah di Al-Azhar dan segera mengurus serta mengambil ijazahku yang ditangan pihak kampus saat aku diterima dahulu, mengurus segala sesuatunya dengan segera, yang kuingat bahwa ibuku mengizinkanku untuk tidak kuliah di Medan, beliau membolehkanku untuk kemana saja asalkan tetap di Indonesia.

Kembali ke Indonesia

Pada tahun 1996 aku kembali ke Indonesia, kulihat ayahku memang benar dalam keadaan sakit keras dan dalam sakitnyapun beliau masih sempat protes dengan sikapku untuk berhenti kuliah di Mesir dan menegur ibuku karena membiarkan keputusanku, beliau hanya berharap agar aku kembali ke Indonesia hanya untuk mengobati rasa sakit dan rindunya pada anaknya. Aku menjawab semua protes ayahku dengan menyatakan bahwa aku akan melanjutkan kuliah di Indonesia saja, bahkan bila perlu mengulang kembali dari awal, dan Medan adalah pilihanku, aku tidak berkeinginan kuliah jauh lagi meskipun ke pulau jawa.

Akhirnya setelah mempertimbangkan banyak hal, akupun melanjutkan kuliah di STIE Tri Karya d/h AKP Perbanas Medan, mungkin memang karena pengaruh ilmu-ilmu sosial yang ada dalam diriku dan target untuk segera bekerja seusai kuliah, maka aku memilih kampus itu sebab program D-3 katanya penuh dengan praktek dan teknis bukan sebatas teoritis. Di kampus ini aku kembali memperkokoh kemampuan ekstra ku dengan masuk HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sebuah organisasi mahasiswa yang sangat banyak melahirkan tokoh-tokoh di setiap jenjang dan aspek kehidupan, mulai dari tingkat nasional hingga daerah. Aku memperkuat sisi ke-Indonesiaanku, mengikuti proses pembentukan sumber daya manusia insan cita yang menjadi tujuan luhur dari HMI. Aku mulai aktif mengikuti seluruh kegiatan keorganisasian disamping juga terus mengasah bakat seniku dalam bidang musik, bersama beberapa temanku kami mendirikan band kampus yang cukup banyak wara wiri di kampus-kampus kota Medan, karena memang pada saat itu musik kampus sangat banyak digelar hampir setiap minggu ada saja event yang digelar, bahkan kami juga berhasil menjadi juara dalam beberapa festival band. Kegiatan nge-band itu tidak mempengaruhi aktivitas organisasiku, tetap saja aku belajar semua hal menyangkut organisasi, bagiku organisasi adalah sekolah non formalku dan nge-band adalah pergaulan sosialku. Meskipun semua aktivitasku itu sangat padat aku tetap memperoleh nilai akademis yang sangat baik, bahkan aku memperoleh bea siswa PPA selama 2 tahun berturut-turut

Pengaruh kondisi pergolakan politik nasional pada tahun 1997/1998, telah menuntunku untuk menjadi aktivis kampus yang kritis untuk semua persoalan internal kampus maupun nasional, aku bersama teman-teman kampusku memperjuangkan untuk menurunkan uang UNC (Ujian Negara Cicilan) karena pada saat itu ekonomi masyarakat kita sudah sangat sulit, aku mengumpulkan seluruh potensi kampus mulai dari HMI, GMKI, GMNI bahkan beberapa kelompok mahasiswa lainnya, hampir 4 hari kami tidak pulang dan menginap dikampus untuk menuntut hal itu. Akhirnya aku dipanggil oleh yayasan kampus yang saat itu dipimpin oleh Ibunda Prof.Hj.Djanius Djamin,MS yang pada saat itu juga menjabat sebagai Rektor Universitas Negeri Medan, selama ini hanya mengenal ibunda kami ini orangnya sangat keras dan tegas, kekhawatiranku adalah aku akan dikeluarkan dari kampus karena menjadi pimpinan demontran kampus, dan yang ketakutanku terbesar adalah nanti pada saat kedua orang tuaku tahu seandainya aku dikeluarkan dari kampus.

Ternyata Ibunda Djanius Djamin yang kami panggil dengan “ummi” ini tersenyum pada saat melihatku, seorang anak muda berambut gondrong dan berkaos oblong yang masuk keruangannya dan sangat kuingat adalah ucapan ummi bahwa dia sangat senang dengan maksud perjuangan kami, beliau bertutur tentang pentingnya sebuah kepekaan sosial sejak dari masa perkuliahan, perjuangan kamipun berbuah manis dengan dipenuhinya permintaan kami untuk diturunkannya uang UNC tersebut. Beliau hanya meminta agar kampus harus menjadi pusat akademis yang kondusif dan pusat diskusi seluruh elemen kampus tentang semua hal termasuk pengabdian kepada masyarakat. Terkait permasalahan nasional yang sedang terjadi dimasa itu, beliau memberikan support moral yang sangat luar biasa untuk kami mengambil peran yang lebih besar.

Tahun 1997-1998 adalah tahun-tahun dimana kami berada dijalanan sebagai demonstran, tidak pernah lelah kami berhari-hari melakukan demonstrasi, tuntutan kami adalah menurunkan rezim yang sangat militeristik pada masa itu, menuntut agar segera dilakukannya reformasi, tuntutan yang awalnya disuarakan oleh tokoh idola ayahku Prof.H.Amien Rais. Pada saat kesempatan Pak Amien Rais datang ke USU dan memberikan ceramah umum tentang situasi nasional dan pentingnya pergantian pimpinan nasional, aku menjadi salah seorang dari ribuan mahasiswa yang ikut mendengarkannya. Situasi pada masa itu membuatku harus selalu pulang malam hari, ayahku tidak pernah membatasiku karena beliau sangat memaklumi padatnya aktivitasku diluar rumah.

Pasca turunnya Presiden Soeharto, agenda awal reformasipun mulai bergulir termasuk adanya multi partai dalam dunia politik Indonesia. Kami para mahasiswa kembali ke Kampus meneruskan pendidikan sembari tetap mengikuti dinamika sosial politik yang ada di tingkat nasional. Pak Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional pada saat itu, kulihat banyak teman-teman aktivisku khususnya dari kalangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah(IMM) menjadi voluntir untuk mendukung berdirinya partai itu, mereka menggalang pembentukan komite-komite didaerahnya. Dirumahku, ayahku juga sangat bersemangat mendengar tokoh idolanya akan mendirikan partai baru, banyak hal yang dilakukannya, tetapi aku tidak terlalu mengikuti seluruh hal yang dilakukan oleh ayahku tersebut.

Aku kembali ke dunia kampusku, bagiku menyelesaikan pendidikan menjadi hal yang juga menjadi prioritasku. Aku tidak begitu tertarik untuk memikirkan partai politik atau hal lainnya. Aku hanya ingin mematangkan seluruh “PROSES” hidupku dimulai dari kampus.

Pada saat pemilihan Ketua Umum Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), aku menjadi pilihan yang tidak diinginkan oleh HMI pada saat itu, karena sikap tempramenku dan tidak ada kata negosiasi untuk hal-hal yang prinsip. Pada masa itu biasanya HMI selalu mencalonkan nama sendiri dan selalu saja berhasil menjadikan kader yang direkomendasikan untuk menjadi Ketua Umum SMPT, dan berdasarkan rembug para senior di Kampus, nama itu bukanlah namaku, tetapi nama seorang temanku satu angkatan. Aku tetap saja tidak terlalu mempedulikan hal itu, aku terlalu sibuk dengan dunia band-ku, bagiku yang penting adalah seluruh kampus mengetahui bahwa aku tidak peduli dengan posisi dan jabatan formal di kampus.

Saat semakin dekat perhelatan pemilihan Ketua Umum SMPT itu, beberapa teman yang biasa menjadi “aktivis kantin” mendatangiku dan mengajak diskusi tentang hal itu, aku hanya menyampaikan bahwa HMI sudah memiliki calon tersendiri dan akupun tidak terlalu berminat ikut dalam pertarungan itu. Alfredi, Ketua GMKI yang juga satu kelasku dengan tegas menyatakan bahwa GMKI tidak akan mengikutkan kadernya jika aku mau maju jadi salah satu calon kandidat. Aku tetap saja belum mau untuk ikut pencalonan, banyak memang pertimbanganku saat itu termasuk ketakutanku terhadap pengaruhnya untuk perkuliahanku, karena kudengar selama ini aktivis kampus sangat sedikit yang tamat kuliah sesuai waktunya, belum lagi ketakutanku terhadap catatanku di saku ‘ummi” Djanius Djamin pada saat aku demo UNC dulu, aku merasa menjadi orang paling tidak bisa kompromi dan kooperatif dengan pihak kampus jika menyangkut hal-hal tersebut.

Tetap saja seluruh teman-temanku itu memaksaku untuk ikut pencalonan dengan beragam argumentasi, akhirnya akupun menyatakan kesediaanku dengan sebuah permintaan agar teman-temanku itulah yang menjadi “pemain lapangan” di Kampus, karena aku tahu HMI punya pengaruh yang sangat kuat di kampusku. Akhirnya kompetisi untuk menjadi Ketua Umum SMPT pun digelar, hanya ada dua calon. Kedua-duanya adalah kader HMI, bedanya adalah satu didukung secara nyata dalam organisasi serta para senior dan satunya lagi didukung lintas organisasi kampus, yang tentunya juga melibatkan kader-kader HMI secara personal. Dua kali digelar pemilihan karena yang pertama terjadi deadlock dan ditunda beberapa minggu kemudian, peluang terbesarku adalah pada saat penyampaian visi misi dan debat kandidat, seperti biasa aku tidak pernah membuat teks, aku hanya menyampaikan pokok-pokok fikiranku yang ada diotakku,  dan akhirnya pemilihan itu berakhir dengan Aklamasi dan Keputusan Mutlak untuk mengangkatku menjadi Ketua Umum SMPT. Aku punya tugas besar untuk membangun eksistensi pergerakan kampus di lingkungan eksternal kampus lainnya, bersama-sama aktivis kampus-kampus besar lainnya seperti USU, Unimed, IAIN, UMSU dan UISU, di internal tugasku adalah membuat maksimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana kampus. Sampai akhir periodeku, aku cukup mampu menjalankannya, dan akupun memiliki teman-teman lintas kampus yang akhirnya menjadi orang-orang besar saat ini. Hingga pada akhirnya sebuah pergerakan secara regional mampu kami lakukan dengan digelarnya Kongres Mahasiswa Se-Sumatera, kongres yang menghimpun aktivis-aktivis kampus yang berada di Sumatera, mulai dari aceh hingga lampung. Menyatukan berbagai persepsi dan isu tentang bagaimana Sumatera mendapatkan porsi yang lebih besar dalam berbagai aspek kehidupan bernegara pasca reformasi. Pokok-pokok fikiran itu tentunya kami sampaikan dalam bentuk rekomendasi kepada pemerintah pusat pada masa itu yang dipimpin oleh Presiden BJ Habibie, aku menjadi salah satu delegasi yang diutus kejakarta untuk menyampaikannya, termasuk kepada beberapa parpol besar pada saat itu.

Singkat cerita setelah menyelesaikan D-3, akupun melanjutkan ke USU untuk menyelesaikan S-1 ku, disana aku mengambil jurusan Ekonomi Pembangunan. Alhamdulillah, akupun dapat menyelesaikan kewajibanku sebagai anak, yaitu menyelesaikan pendidikan akademisku.

MASUK PARTAI AMANAT NASIONAL
DAN BERKENALAN DENGAN SERDANG BEDAGAI

Seusai menamatkan S-1, aku memang tidak pernah sekalipun melayangkan satu surat lamaran pekerjaan kemanapun, aku berkeinginan untuk menjadi wiraswasta saja, bahkan aku masih asyik dengan kegiatan keorganisasian.

Sebuah cerita setelah menyelesaikan kuliahku, dan pada saat menjelang pemilu tahun 2004, ada seorang ibu yang datang kerumahku dan berdiskusi dengan ayahku, sekembalinya sang ibu, ayahku menyatakan bahwa ibu tersebut bermaksud untuk meminta salah seorang putra ayahku untuk masuk menjadi anggota partai politik yang didirikan oleh K.H.Zainuddin MZ dan dijanjikan akan menjadi calon anggota legislatif. Sepanjang sepengetahuanku ayahku pada pemilu 1999 telah menjadi simpatisan dan donatur dari sebuah partai yang didirikan oleh tokoh idolanya, partainya pak Amien Rais, Partai Amanat Nasional. Dan secara pribadipun aku sangat mengidolakan tokoh ini, tetapi selama aku berstatus masih mahasiswa tetap saja aku belum mau masuk partai politik, meskipun teman-temanku semasa di Mesir mendirikan sebuah partai juga. Tetapi hari ini, aku sudah menyelesaikan perkuliahanku, ayahku bertanya apakah aku tidak tertarik untuk berjuang disebuah partai politik, beliau membebaskanku untuk memilih kemana saja, apalagi saat itu ada tawaran dari sebuah partai. Pada saat itu aku menyampaikan kepada ayahku bahwa aku adalah putranya, putra dari seorang penggiat Muhammadiyah, aku mengidolakan semua tokoh idola ayahku, aku hanya mau masuk PARTAI AMANAT NASIONAL, tetapi aku hanya mau masuk organisasi pemudanya terlebih dahulu, agar aku bisa lebih matang dalam dunia baruku itu. Akhirnya akupun masuk BMPAN di Kecamatan Medan Timur.

Waktu terus berlalu, akupun terus mengasah kemampuan berorganisasi dan jaringanku dengan orang-orang baru. Aku banyak mengenal orang-orang hebat disini, orang-orang yang hanya kukenal lewat media massa, mereka para tokoh PAN di Sumatera Utara dan Kota Medan. Disamping itupun aku mendapat tawaran dari seorang sahabatku untuk menjadi dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Al-Washliyah Medan, awalnya aku mendapatkan dua mata kuliah yang sesuai dengan jurusanku dulu, yaitu ekonomi pembangunan dan ekonomi public. Uniknya adalah kami para staf pengajar tidak diberi gaji untuk honor kami mengajar, karena mahasiswa-mahasiwa disana dibebaskan uang kuliah hingga tamat, kami hanya mendapatkan honor setelah 6 bulan.

Aku menjadi salah satu dosen yang ditugaskan untuk mengajar di kelas jauh, kelas khusus luar kota untuk menghimpun masyarakat yang berminat untuk melanjutkan studinya di jenjang perguruan tinggi tetapi terkendala di masalah waktu dan biaya. Kabupaten pertama yang dibuka untuk kelas jauh Fakultas Ekonomi Univa itu adalah Serdang Bedagai. Perkuliahan dilakukan sabtu minggu, dan aku menjadi salah satu dosen yang mendapatkan tugas di Kabupaten itu.

Inilah awal pertamaku mengenal serdang bedagai sekaligus orang-orangnya, saat itu aku melihat semangat yang luar biasa di mata mereka, dan satu hal lagi yang kulihat ketulusan mereka, seperti halnya ketulusan masyarakat pedesaan yang murni tanpa adanya sesuatu pamrih, dan dari sisi umur banyak diantara mahasiswaku itu yang jauh umurnya diatasku. Jika aku datang mengajar, mereka selalu menjamuku layaknya orang yang sangat dihormati, padahal aku tidak terlalu nyaman  jika harus diperlakukan seperti itu. Dan sekali lagi aku melihat ketulusan itu.

Selintas aku berfikir bahwa sepanjang hidupku aku selalu menemukan tempat-tempat terbaik berikut orang-orangnya yang baik pula. Mungkin ini jalan yang harus kulalui, dan tentunya tanganNYA yang mengatur semuanya ini.





Read More..........

MENUJU KESEMPURNAAN PENGABDIAN


Read More..........

Kamis, 02 Januari 2014

SOLO ALBUM ENDRA & Friends " KUSATU MILIKMU " RILIS FEBRUARI

Disamping memiliki kesibukan yang cukup padat dalam berbagai kegiatan organisasi sosial dan politik, ternyata H.Hendra Cipta,SE juga memiliki bakat seni yang terpendam. Anak muda yang semasa kuliahnya ini ternyata juga merupakan anak band yang cukup malang melintang di berbagai kampus ternama di kota Medan. 

Dimasa mengecap pendidikan di perguruan tinggi dan disela kesibukan kampus yang sangat luar biasa sebagai aktivis HMI dan Ketua Umum Senat Mahasiswa, Hendra juga Vokalist Band yang beraliran Rock, membawa lagu slank dan dewa19 menjadi menu wajib yang kerap dibawakannya di panggung-panggung musik kampus dan festival, bersama band terakhirnya yang bernama RapBat Blue, mereka membawakan lagu-lagu Deep Purple dan Skid Row.

Saat ini Caleg DPRD Sumut dari PAN ini, Hendra juga membina beberapa komunitas anak-anak muda berbakat di bidang seni musik dan akting. Bersama merekalah album solo perdananya lahir, album musik beraliran Pop Rock ini seluruhnya adalah ciptaan Hendra dan di arransemen oleh personil band Wafer yang telah lebih dahulu melahirkan album mereka.

4 buah lagu telah mereka rampungkan proses recordingnya, yaitu :
1. Kusatu Milikmu
2. Mungkin Kamu Bisa
3. Kala Tanpamu
4. Bukan Cintamu (piano version)

Menurut Dedi Wafer sang produser dan penggagas album solo ini bahwa lagu Bukan Cintamu diharapkan menjadi salah satu hits minimal di Medan ataupun Sumatera Utara bahkan bisa juga ke kancah nasional karena lagunya cukup komersil dan gampang dicerna dan rangkaian promo album telah dipersiapkan oleh tim manajemen berikut video klipnya yang di garap oleh 59 Vision. "Mudah-mudahan album solo ini dapat diterima oleh masyarakat pencinta musik, cukup jarang juga ada anak medan yang mau membuat album solo bahkan mungkin ini yang pertama, biasanya hanya band-band saja yang sering menerbitkan album baik kompilasi maupun full album" kata bassist Wafer ini.

Kusatu Milikmu akan segera dirilis dan lounching pada medio februari 2014 akan datang, segmennya tetap anak-anak muda karena konsepnya adalah lagu-lagu percintaan anak muda dan sepertinya album solo  ini adalah impian yang tertunda dari seorang yang bernama Hendra sebut Dedi Wafer mengakhiri perbincangan kami.





Read More..........

SOSIALISASI H.HENDRA CIPTA,SE (CALON ANGGOTA DPRD SUMUT DAPIL SERGAI & T.TINGGI)




Read More..........

Konser 30 Tahun Slank Terlalu Manis untuk Dilupakan

Konser akbar perayaan ulang tahun ke 30 Slank mengesankan. Slankers, sebutan untuk fans Slank, benar-benar dimanjakan dengan penampilan Bimbim, Kaka, Ivanka, Ridho, dan Abdee. Ditambah lagi bekas personelnya, Reynold, Indra Qadarsih, dan Pay.
Wel Willy membuat semarak suasana. Kehadirannya di atas panggung malam tadi mengejutkan Slankers yang datang ke Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta. Perlu diketahui, Wel Willy adalah vokalisnya Cikini Stones Complex (1983), cikal bakal band dari Gang Potlot, Duren Tiga itu.
Vokal Willy masih seperti dulu. Lengkingannya kuat, bertenaga, dan keep on rock. Meski tubuhnya agak gemukan ketimbang dulu. Maklum, usianya sudah kepala empat.
Mereka bernostalgia di atas panggung memainkan nomor lawasnya, dari "Suit... Suit.. He.. He.. (Gadis Sexy), "Kampungan", "Piss", "Generasi Biru", sampai "Minoritas". Slankers bersuka cita dan sangat antusias malam itu dengan suguhan yang langka dari Slank.
Guyuran hujan deras tak menyurutkan pesta 30 tahun Slank. Bahkan, Slankers tetap bertahan di tengah lapangan untuk menyaksikan band idolanya. Ada pula di antara mereka yang menari berkelompok sembari berputar-putar. "Mandi Hujan" dari album "Lagi Sedih" mengiringi tarian tersebut.
"Terlalu Manis" jadi semacam klimaks pertunjukan. Sebelumnya, semua personel dan mantan personel berkumpul di panggung bersama istri dan anak-anak mereka. Kemudian Bimbim meniup lilin angka 30 di atas kue tart.
Kesuksesan Slank bukan diraih dengan mudah seperti membalikkan telapak tangan. Pergantian personel dan keterikatan mereka terhadap pengaruh narkoba mewarnai perjalanan karirnya di blantika musik Indonesia yang sarat persaingan. Namun, persahabatan antar personel dan bekas personelnya itu, yang membuat mereka eksis sampai sekarang.
Tidak banyak band yang mampu bertahan selama itu. Bahkan, The Beatles hanya mampu bertahan tak lebih dari 10 tahun. Mungkin di Indonesia cuma God Bless yang mampu mengungguli mereka. Pengamat musik Bens Leo menaruh harapan supaya Slank bisa mengikuti jejak Rolling Stones yang tetap eksis dan produktif lebih dari setengah abad.
Bimbim, Kaka, Abdee, Ridho, dan Ivanka tertawa lepas. Keluarga menyematkan batik di pundak mereka. Bekas personel juga gembira Slank tetap bertahan sampai 30 tahun.
Tetapi, seperti ada yang kurang. Bimbim merasakannya juga. Bongky absen di konser paling penting dan bersejarah dalam perjalanan 30 tahun Slank. "Masih ada satu yang bandel, next time," ucapnya kepada Slankers.
Edi Hidayat, Slankers yang baru pindah rumah dari Tangerang ke Bekasi itu, mengaku puas menyaksikan konser tersebut. Ia tak menyangka bekas personel Slank turut memeriahkan konser. Apalagi, banyaknya lagu lama yang mereka mainkan. Ia bernostalgia.
"Saya sangat puas. Belum pernah saya merasakan sebahagia ini ketika menyaksikan konser Slank. Dan, buat saya konser Slank kali ini terlalu manis untuk dilupakan," ucapnya
Read More..........

Sejarah berdiri band slank

Slank adalah nama salah satu grup musik papan atas Indonesia yang bermula dari Desember 1983 dengan pendirian Cikini Stones Complex (CSC), grup musik yang terdiri dari anak-anak SMA Perguruan Cikini, Jakarta. Di sinilah Bimo Setiawan (drum), Boy (gitar), Kiki (gitar), Abi (bass), Uti (vokal) dan Well Welly (vokal) mengekspresikan kesukaan mereka terhadap karya-karya Rolling Stones.


Sayangnya grup ini tidak bisa bertahan dan membubarkan diri. Selanjutnya berturut-turut terjadi perombakan personil sampai akhirnya terbentuk formasi ke-14 pada tahun 1996 yang bertahan sampai sekarang. Formasi akhir ini, yang dimulai dari album ke-7 Slank, terdiri dari Bimbim (drum), Kaka (vokal), Ivanka (bass), Ridho (gitar) dan Abdee (gitar).

Slank memiliki kelompok penggemar yang fanatik, yang dikenal sebagai Slankers.

Berikut ini sejarah singkat tentang berdirinya Slank

Slank berdiri desember 1983. dengan nama awal cikini stone complex, dengan beranggotakan, Bimo Setiawan (drum), Boy (gitar), Kiki (gitar), Abi (bas), Uti (vokal), Wel Welly (vokal).Mereka sering membawakan musik2 dari Rolling Stone, idola mereka. Di tengah jalan beberapa dari mereka keluar. karena keuletan Bimbim, panggilan Bimo Setiawan membentuk band lagi dan merubah nama menjadi Red Evil. dengan formasi Bim2(drum), Bongky (gitar), Kiki (gitar), Denny (bas), Erwan (vokal). dan mereka sudah mulai berani memainkan lagu2 mereka sendiri.

Penampilan mereka diatas panggung yang cenderung seadanya dan slenge’an. sehingga para penonton sering menyebut mereka band slenge’an. mulai saat itu nama band mereka berubah menjadi Slank.

Pergantian personil menjadi kebiasaan dalam band ini. sudah kali band ini ganti personil, dengan personel Bim2(Drum), Kaka(Vokal), Bongky(Bas), Indra(Keyboard), Pay(Gitar).

Berkali-kali mengirim demo ke berbagai label, berkali2pula rekaman mereka ditolak. lalu mereka bertemu dengan seorang produser Budi Susatio. setelah mendengarkan musik mereka, Budi yakin bahwa musik mereka akan banyak disukai. karena musik mereka beda dari musik mainstream pada masa itu. Slank menggabungkan antara POP, ROCK N ROLL, BLUES, DAN ETNIK. yang menjadi warna musik Slank.

Keyakinan Budhi terbukti. album pertama SUIT…SUIT..HE.HE… meledak di pasaran dengan hits maafkan dan memang. dengan album pertama itu pula slank mendapat penghargaan pertamanya di BASF award sebagai pendatang baru terbaik.

sejak saat iu slank mulai dikenal masyarakat seluruh indonesia, dan terus berkarya. karya mereka antara lain:
KAMPUNGAN,PISS,GENERASI BIRU, MINORITAS.Setelah penggarapan album minoritas slank kehilangan 3 anggota sekaligus Bongki,Indra,Pay (yang sekarang sukses dengn BIP-nya). akhirnya ka2 dan bim2 berjuang mempertahankan band ini. dengan 2 personel mereka mencoba membuat album baru, LAGI SEDIH. dengan dibantu Ivan (bass) dan Reynold (gitar).

hingga akhirnya tahun 1996 terbentuk formasi ke-14 yang terdiri dari Kaka (vokal), Bim2 (drum), Ivanka(bass), Ridho (gitar), Abdee (gitar). hingga sekarang mereka telah menelurkan 14 album:
TUJUH,VIRUS,MATA HATI REFORMASI,999+09,SATU-SATU,PLUR,SLANKISS... BUT SURE. ini belum termasuk album live dan de best.Hingga sekarang slank masih berkarya dan banyak memiliki penggemar yang biasa menyebut diri mereka SLANKERS. mereka cenderung setian pada slank. karena mereka menganggap musik slank adalah musik jujur apa adanya. yang mewakili jiwa dan semangat muda.Dan untuk ultah ke 24 ini slank akan mengadakan konser dengan judul: Slank Fest:From Slank With Love. acara ini akan diadakan di pantai karnaval ancol tanggal 29 desember 2007 jam 7 malem. dan diisi oleh:The BIG HIP (JAPAN), Julia Perez(jupe???), Dewi Persik, Nirina Zubir, Maia (Ratu), Sherina, Melanie Soebono, Astrid, T2, Sarah. harga tiket 15ribu.Dan juga Slank rencananya akan launching album internasionalnya pada bulan april 2008. yang berisi lagu2 Slank dengan lirik Bahasa Inggris.

Sukses terus buat Slank… .

PISS-LUV-UNITY-RESPECT

SUSUNAN ALBUM
1990 - Suit-Suit….Hehehe (Gadis Sexy)
1991 - Kampungan
1993 - Piss
1995 - Generasi Biru
1996 - Minoritas
1996 - Lagi Sedih
1997 - Tujuh
1998 - Mata Hati Reformasi
1999 - 999
2001 - Virus
2003 - Satu Satu
2003 - Bajakan!
2004 - Road to Peace
2005 - Plur
2006 - Slankisme
2007 - Slow But Sure
Read More..........

Rabu, 01 Januari 2014

CALEG PAN SUMUT PRODUSERI SITKOM KOST 18

Dunia sinematografi di Kota Medan kian menggeliat dengan hadirnya tayangan sinetron komedi situasi Kost 18 yang diproduksi 59 Vision. Produksinya ditayangkan stasiun televisi lokal Deli TV sejak 05 september 2013 untuk 13 Episode.

Sitkom hasil karya anak Medan ini ditayangkan setiap hari Kamis pukul 18.00 WIB hingga 18.30 WIB dan saat ini telah memasuki episode ketiga. Antusiasme masyarakat Medan menyaksikan tayangan ini responnya positif. “Alhamdulillaah, sejauh ini responnya sangatbaik,” ungkap Sutradara Kost 18 Dedi Wafer dalam perbincangan khusus dengan KORAN SINDO MEDAN belum lama ini.

 Ide awal memilih tema Kost karena dinamika dunia anak muda yang punya banyak cerita, mulai cara bagaimana mempertahankan hidup. Perbedaan kehidupan para penghuninya, hingga sampai interaksi persahabatan yang unik dan konyol. Pemeran utama Sitkom yakni penghuni kost Cipta (Cipto), Najwa Abari (Rara), Rahmat Syafaat (Doni), Ega Syahputri (Olive). Lalu, teman penghuni kos, Ismu (Aldo), Ipai MP (Frans), dan Elsye (Tante Marini/Ibu Kost).

Sebagian besar merupakan wajah baru dalam dunia sinematografi. Namun, sebagian lainnya pernah terlibat di berbagai produksi baik film atau video klip. “Pemilihan orang-orangnya ada yang memang sudah kita kenal karena hubungan pertemanan dan kita melihat bakatnya, ada juga yang melalui casting,” kata Asistant Director/ Script Writer Rendra KH. Dia menceritakan dalam Sitkom itu sosok Rara sebagai orang yang memiliki sifat sombong dalam segala hal. Sedangkan Olive dikenal sebagai pribadi yang lugu.

Lalu, Cipto sosok penengah, dewasa yang menjadi incaran teman- temannya untuk dibuli. Sedangkan Aldo memiliki sifat jutek pemarah, emosional, sedangkan Doni merupakan leader yang rela bekorban. Dalam Sitkom itu diceritakan bahwa Tante Marini memiliki dua kamar kos yang bernomor 18. Satu kamar dikontrakkan kepada keponakannya Rara dan Olive, dan kamar lainnya Cipto dan Doni. Lalu, Cipto dan Doni merupakan bagian dari personil Band Sendawa. Nah, dalam kesehariannya para anggota band lainnya seperti Aldo dan Frans sering bermain ke kost. Karena letak kostnya yang berdekatan maka interaksi sosial pun sering terjadi.

“Dengan masing-masing kehidupan mereka ini lalu dibenturkan dan diceritakan kepada penonton,” tambah Rendra. Untuk menambah kesan lokalnya, Kost 18 juga mengambil lokasi di daerah-daerah yang menjadi identitas Kota Medan di antaranya Pasar Baju Bekas, Pasar Simpang Limun, Taman Sudirman, Lau Kawar Brastagi, dan sebagainya. “Dalam Sitkom ini kita benar-benar memperlihatkan ciri khas Medannya,” ungkap Rendra. Dedi menambahkan, Kost 18 merupakan hasil karya 59 Vision yang pertama yang dilirik stasiun televisi untuk ditayangkan secara berseri.

Sementara itu H. Hendra Cipta,SE sang produser sitkom ini menganggap bahwa sitkom ini merupakan momentum awal bangkitnya dunia entertainment di sumatera utara, menurutnya begitu banyak sekali bakat serta talenta lokal yang selama ini ibarat mutiara yang masih tersimpan di sumatera utara. Aktivis politik dan penggiat seni ini juga menganggap ini adalah hal positif dari para generasi muda, generasi muda yang masih memiliki nilai nilai lokal tanpa juga harus merasa tertinggal dari dunia luar, generasi muda yang tidak cengeng dan gampang putus asa. " Deli TV akan menjadi mitra generasi muda Medan dan Sumut  untuk berkreasi, memberi ruang kepada tayangan berbasis talenta lokal memang harus menjadi tanggung jawab Deli TV, anak-anak muda menggagas ide dan memproduksi, deliTV yang menyampaikannya ke masyarakat luas melalui program-programnya" ujar caleg PAN untuk DPRD Sumut ini.

Direktur Deli TV Chairman menyebutkan, alasan menerima Sitkom Kost 18 pastinya ingin menaikan rating. Serta, meningkatkan dunia pertelevisian di Sumut sebab belum ada yang tayangan sinteron yang konten lokal. “Mencerminkan kehidupan masyarakat Kota Medan, baik dari bahasanya dan pemainnya,” ucapnya.

Selain itu, tayangan Kost 18 ini juga sebagai salah satu bukti dukungan Deli TV kepada para PH terhadap hasil karyanya. Untuk itu, Chairman mengajak yang lainnya untuk bisa bergabung meramaikan dunia pertelevisian di Sumut.
Read More..........
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...