Pada akhir
februari 1992 saya meninggalkan Pinang lombang menuju ke tanah Jawa, inilah
awal perjalanan panjang yang kelak akan membawa banyak cerita, di pinang
lombang selama kurang lebih empat tahun saya berdomisili disini, tempat
persinggahan yang cukup lama, karena setelah era pinang lombang ini, relatif
saya selalu berpindah tempat, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu
proyek ke proyek yang lain, dari satu budaya pindah ke budaya masyarakat yang
lain, dari satu kota besar ke kota besar lain, dari satu kota besar ke kota
kecil, dari satu kota kecil ke kota besar yang lain, dari pulau Sumatera yang
besar ke pulau batam yang kecil.
Apa artinya
semuaitu….?
Artinya, saya mengalami banyak hal yang relatif , sesuatu yang boleh disuatu tempat, ternyata tidak boleh ditempat yang lain, sesuatu yang bagi kita hal yang biasa saja, ternyata di tempat lain merupakan sesuatu yang luar biasa, ketika kita menyebut “kakak” di Medan artinya wanita yang lebih tua dari kita, di lampung itu artinya pria yang lebih tua dari kita, sedangkan di Banten itu artinya bagi laki-laki yang telah beristri. Ketika kita menyebut “bu” di jawa, itu artinya sosok wanita yang kita hormati, atau wanita yang telah berkeluarga, tetapi di papua, itu artinya abang. Semuanya jadi tidak pasti, semuanya jadi relatif , tergantung ruang dan waktu. Demikianlah terus menerus, setiap saya pindah ke daerah baru (ini umumnya disebabkan karena tugas yang mengharuskan saya selalu berpindah-pindah) saya selalu berusaha untuk menyesuaikan diri, bagaimana caranya? Tentu dengan bertanya pada teman sekitar saya yang lebih dulu mukim disitu, atau dengan tokoh agama ketika selesai sholat di mesjid pada daerah itu. Hingga suatu waktu saya benar-benar terbentur dengan masalah relatif itu sendiri.
Artinya, saya mengalami banyak hal yang relatif , sesuatu yang boleh disuatu tempat, ternyata tidak boleh ditempat yang lain, sesuatu yang bagi kita hal yang biasa saja, ternyata di tempat lain merupakan sesuatu yang luar biasa, ketika kita menyebut “kakak” di Medan artinya wanita yang lebih tua dari kita, di lampung itu artinya pria yang lebih tua dari kita, sedangkan di Banten itu artinya bagi laki-laki yang telah beristri. Ketika kita menyebut “bu” di jawa, itu artinya sosok wanita yang kita hormati, atau wanita yang telah berkeluarga, tetapi di papua, itu artinya abang. Semuanya jadi tidak pasti, semuanya jadi relatif , tergantung ruang dan waktu. Demikianlah terus menerus, setiap saya pindah ke daerah baru (ini umumnya disebabkan karena tugas yang mengharuskan saya selalu berpindah-pindah) saya selalu berusaha untuk menyesuaikan diri, bagaimana caranya? Tentu dengan bertanya pada teman sekitar saya yang lebih dulu mukim disitu, atau dengan tokoh agama ketika selesai sholat di mesjid pada daerah itu. Hingga suatu waktu saya benar-benar terbentur dengan masalah relatif itu sendiri.
Awalnya
ketika saya baru tiba disuatu daerah kecil, diujung pulau Jawa, sebagaimana
biasa, saya bertanya pada teman tentang adat kebiasaan di daerah tersebut, dan
sebagaimana biasa pula, teman menceritakannya secara detail mana yang boleh dan
mana yang tidak boleh. Di akhir cerita, teman tersebut berpesan agar saya
jangan terlalu dekat dengan ustadz anu…….. karena ustadz tersebut punya
referensi agama yang aneh, semuanya serba relatif
, bahkan kalimat popular yang sering keluar dari mulut beliau yang terkenal adalah
“itu mah relatif”
Sore itu,
ba’da sholat Isya, saya berkesempatan silaturahmi dengan ustadz aneh ini,
beliau lulusan Madinah dengan jurusan Ushuludin, kesan pertama saya, tidak ada
yang aneh pada beliau, kecuali suka pakai celana jean, minum kopi dan merokok,
kamipun saling tukar informasi tentang diri masing-masing, hingga akhirnya
ceritapun beralih pada perihal agama.
Karena
merasa saya awam dalam masalah agama, maka saya banyak bertanya tentang hal-hal
yang banyak saya alami. Pertanyaan pertama saya, bagaimana soal shalat
berjamaah di Mesjid, karena waktu saya gak jelas, kadang waktu sholat datang,
posisi saya jauh dari Mesjid? Sebagaimana sudah saya duga, kalimat yang pertama
keluar dari beliau adalah “itu mah
relatif “, lalu beliau meneruskan, kalau hanya sebab jauh dari Mesjid, maka
lakukan ketika ketika sudah menjumpai masjid, tetapi jika jumlah anda banyak,
maka lakukan dimana saja dengan berjamaah, karena sesungguhnya, bumi Allah yang
luas ini adalah Mesjid, tetapi jika hanya agar terlihat saleh, ingin dipuji
manusia, atau malu karena ada orang yang disegani, maka jangan lakukan, karena
sholat sendiri dengan khusuk dan mohon ampun atas segala dosa dengan rintihan
dari qolbu terdalam, jauh lebih baik daripada sholat di mesjid dengan tujuan
seperti diatas.
Lalu saya
bertanya lagi, bagaimana caranya agar saya lebih mengenal Allah? Lalu jawab beliau “itu mah relatif “, jika anda seorang anak kecil, maka jalan
mengenal Allah dengan dengan sifat dua puluh atau dengan asma’ul husna,
walaupun seluruh sifat dua puluh dan asma’ul husna itu, sesungguhnya
perumpamaan yang sangat dangkal, ketika anda tahu bahwa Allah itu Maha Melihat,
maka seluruh gambaran tentang penglihatan yang dimilikii Allah itu salah,
seluruh gambaran yang anda bayangkan tentang sifat mendengarnya Allah itu
salah….lah…lah. mendengar ini saya kaget, “kok bisa” Tanya saya. Ya iyalah…..
bagaimana anda bisa menggam barkan sang Pencipta, jika hasil ciptaannya saja
anda tidak bisa gambarkan, bahkan khayal mu saja tidak dapat menggambarkannya,
demikian firman Tuhan pada hadist Qudsi, ketika menggambarkan kondisi syurga, demikian
kata beliau, bahkan untuk menggambarkan beda manis pada buah mangga dan buah
korma saja anda tidak memiliki cukup kata-kata agar dimengerti oleh lawan
bicara anda, demikian beliau mengakhirinya jawabannya, saya jadi tertegun
sendiri, beliau benar, kiyai relatif ini bicara dengan makna dan pengertian
yang tak terbantahkan
Lalu saya
bertanya lagi tentang hukumnya makan nasi, pertanyaan ini sesungguhnya hanya
pertanyaan asal-asalan, karna merasa sangat kecil dihadapan beliau, sekali lagi
beliau menjawab; “itu mah relatif “
jika anda lapar dan merasa tidak bertenaga karenanya, maka makan, saat itu,
hukumnya wajib, kalau anda tambah sedikit lagi maka mubah, tetapi kalau
anda tambah lagi….tambah lagi hingga
tidak bisa berdiri, bahkan muntah-muntah, maka hukumnya haram, hebat sekali
jawabnya, kata saya dalam hati, lalu beliau menambahkan kembali, dan satu hal yang
jarang diketahui orang, bahwa ternyata nasi itu lebih berbahaya dari pada
rokok, bagaimana bisa Tanya saya pula, “tidak setiap perokok akan memperoleh
sakit jantung atau paru-paru….tetapi setiap orang yang pernah makan nasi pasti
mati”. Wah……??? Luar biasa ustadz ini, lalu kami pun menghabiskan kopi kami dan
pada batang rokok terakhir, saya pun mohon diri untuk pulang.
Di tengah
jalan, menuju rumah, dikegelapan malam itu, saya bergumam, semuanya relative,
bahkan sesuatu yang saya tahu selama ini mutlak, ternyata juga relatif,
semuanya tergantung pada ruang dimana kita berada dan waktu serta kondisi
bagaimana ketika hal itu terjadi, lalu yang mutlak itu apa….??? Dialah ALLAH
SWT……………………………wallahu’alam bish-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar